mencari rumah

July 21, 2017
Hari itu saya kembali ke suatu tempat, asing rasanya, karena baru pertama kali saya kembali ke tempat itu setelah masa perkuliahan di tanah Pasundan berakhir. Merasa sangat jauh dan lelah karena jarak kali ini sangat berbeda dan—sangat asing. Untuk menuju ke yang orang sebut, rumah. Lalu ayah menyambut saya dengan hangat, kakak terlihat bersemangat dengan kepulangan saya—matanya seakan berkata: “ada banyak sekali yang ingin aku ceritakan.”

Iya, ibu sedang ada dirumah yang lain. Seorang diri.

Berminggu-minggu saya menempati tempat itu, dua kamar besar untuk tiga manusia. Ayah senang sekali tidur diruang tengah, ada angin katanya. Memang, rumah kami cukup pengap. Hanya ada satu pendingin ruangan diruang tengah, itu juga hanya mengeluarkan angin saja. Dikamar tempat saya tidur, ada lemari besar yang terisi pakaian ayah, beberapa hari kemudian ia menyarankan untuk menyisihkan satu tempat untuk pakaian saya. Nyatanya, tak pernah saya gunakan sepenuhnya sampai saya pergi melintasi Laut Jawa untuk menghampiri ibu. Saya biarkan tempat itu terisi sebagian kecil dari pakaian saya yang sekiranya saya tidak gunakan.

Diam-diam, saya masih mencari bentuk ‘rumah yang nyaman’ itu seperti apa. Karena stereotip saya tentang rumah, adalah kelengkapan. Ayah, ibu, kaka, saya. Seharusnya. Nyatanya, setiap saya hadir ke rumah. Akan selalu ada salah satu yang tidak akan pernah bisa melengkapi. Diam-diam, saya menyisipkan rindu.

Saya akhirnya kembali dari kediaman ibu, menuju rumah bapak. Saya sempat disinggung awalnya karena menyebut ‘rumah bapak’, tapi alasan saya adalah “memang kenapa? Kan disitu hanya ada bapak. Kalau lengkap baru disebut rumah.” Iya, dulu saya pernah seegois itu. Sesampainya dirumah, saya melakukan hal yang berbeda. Saya mulai menata lemari saya dan bapak dengan baik. Mulai menyusun helai demi helai pakaian saya dari koper ke lemari.

Diam-diam, saya mulai menerima kondisi ini. Bapak juga menanyakan keadaan ibu, maupun sebaliknya. Hanya menanyakan, tidak lebih. Itu juga yang sebenarnya saya takutkan sejak kejadian itu. Diam-diam, saya akan selalu merindukan rumah yang dulu.


Diam-diam, saya menyadari bahwa ikhlas dan waktu adalah kombinasi yang indah, untuk sesuatu yang tidak akan pernah sempurna.

No comments:

Powered by Blogger.