Kalah (gak) selalu salah.

July 27, 2017
Villa Merah Camp, 2015.
Perang gak mesti harus pake gencatan senjata, gak harus lempar-lempar bom molotof yang bisa lukai atau bahkan menghabisi jutaan nyawa manusia dan meluluhlantahkan daerah tersebut. Perang gak harus terus-terusan memakan korban, menjatuhkan jutaan tetes air mata menatap kepergian yang tercinta. Perang gak harus pake urusan diplomatis yang rumit, cenderung sering kubu-kubuan, yang berakhir dengan.. tidak ada akhirnya. Perang gak harus dengan seragam lengkap, menunjukkan bahwa kita ada dikubu x yang akan menghancurkan kubu y. Perang gak melulu tentang ribuan liter cucuran darah dan keringat para korban. Gak, gak juga.

Kadang perang yang justru paling sakit adalah, perang batin.

Ketika kita harus memutuskan suatu hal yang akan berdampak pada banyak orang, pada banyak pikiran manusia tentang keputusan kita. Ketika kita bertahan pada sesuatu yang kita tau ini tidak akan pernah berhasil, ini akan gagal dan saya sudah tau. Ketika kita dihadapi oleh hadangan orang-orang yang tidak mengikhlaskan kita pergi, berkelut dengan pemikirannya tentang keputusan kita. Diam-diam, kita sendiri merasa tertindas oleh karenanya.

Menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lainnya, menghubungkan alasan satu dengan alasan lainnya. Kembali meracau pada pikiran yang tidak pernah berhenti menghubungkan kemungkinan.

Itulah perang.

Sayangnya, gak banyak orang yang tahu bahwa gue sedang berusaha keras menghadapi perang ini. Gak banyak yang tau seberapa usahanya gue untuk melawan sikap overthink gue yang sudah over. Kadang, pikiran ini bisa merembet ke banyak hal yang lagi-lagi—yang banyak orang yang ngerti. Dan pada akhirnya gue bukan meminta untuk dimengerti. Hanya ingin menyarankan, be good to everyone.

Kita gak pernah tau, sebahagia orang yang ia bagikan pada story Instagram-nya, sebenarnya sedang berjuang untuk menghadapi rasa sakit dari perang batin tersebut. Atau banyaknya barang mewah yang ia bagikan, mungkin dibalik itu semua punya kisah jatuh-bangun pahit-manis yang sudah ia berhasil jalani sendirian. Dan ada banyak perumpamaan yang gak bisa disebutin satu persatu. Ketika kita bersikap seenaknya, menganggap bahwa dia benar-benar bahagia, bisa jadi dia semakin terpuruk karena sikap kita.

Kita gak pernah punya hak untuk mencela apa alasan orang-orang tersebut berusaha menunjukkan sisi lain dari dirinya. Mereka cuma ingin terlihat, baik-baik saja. Mungkin ingin mendapatkan positive influence agar ia bisa tegar dan semakin kuat menghadapi ‘dirinya’ sendiri. Nyatanya, seringkali berbeda. Seringkali yang didapatkan justru hal yang semakin membuatnya berpikir bahwa, “hidup saya ternyata tidak seberguna itu.”

Tekanan demi tekanan untuk selalu ‘menang’ pada setiap perang, bikin hal ini sebagai suatu hal yang dianggap biasa aja. Ketika lo melakukan sesuatu yang ternyata lo tau ada yang salah, tapi lo berusaha bertahan dengan ketidaktahuan untuk memperbaiki kesalahan itu. Lo justru terus menerus meyakinkan diri untuk bertahan, berharap akan menang. Tapi, gak selamanya kalah itu salah. Gak selamanya lo harus kalah dengan berhenti dipertengahan, berusaha mempelajari kekurangan dari sesuatu yang tidak akan pernah sempurna.

Seringnya bersikap remeh seakan menganggap hal ini lebay bukanlah suatu hal yang keren, kita tau hidup dikota besar emang punya banyak banget tantangan, punya banyak kemungkinan. Yang bikin kita punya perang sendiri dan mengharuskan kita untuk menang. Maka bersikap baiklah sama semua orang sekalipun dia terlihat sangat abahgia atau sangat terpuruk. Agar kita punya alasan mengapa setiap orang punya hadiah terindah dihidupnya; perbedaan.


Dan pada kasus yang gue tidak bisa ceritakan, mungkin gue harus mengalah. Untuk perang yang kesekian kalinya.

No comments:

Powered by Blogger.