Kalah (gak) selalu salah.
| Villa Merah Camp, 2015. |
Perang gak mesti harus pake gencatan senjata, gak harus
lempar-lempar bom molotof yang bisa lukai atau bahkan menghabisi jutaan nyawa
manusia dan meluluhlantahkan daerah tersebut. Perang gak harus terus-terusan
memakan korban, menjatuhkan jutaan tetes air mata menatap kepergian yang
tercinta. Perang gak harus pake urusan diplomatis yang rumit, cenderung sering
kubu-kubuan, yang berakhir dengan.. tidak ada akhirnya. Perang gak harus dengan
seragam lengkap, menunjukkan bahwa kita ada dikubu x yang akan menghancurkan
kubu y. Perang gak melulu tentang ribuan liter cucuran darah dan keringat para
korban. Gak, gak juga.
Kadang perang yang justru paling sakit adalah, perang batin.
Ketika kita harus memutuskan suatu hal yang akan berdampak
pada banyak orang, pada banyak pikiran manusia tentang keputusan kita. Ketika
kita bertahan pada sesuatu yang kita tau ini tidak akan pernah berhasil, ini
akan gagal dan saya sudah tau. Ketika kita dihadapi oleh hadangan orang-orang
yang tidak mengikhlaskan kita pergi, berkelut dengan pemikirannya tentang
keputusan kita. Diam-diam, kita sendiri merasa tertindas oleh karenanya.
Menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lainnya,
menghubungkan alasan satu dengan alasan lainnya. Kembali meracau pada pikiran
yang tidak pernah berhenti menghubungkan kemungkinan.
Itulah perang.
Sayangnya, gak banyak orang yang tahu bahwa gue sedang
berusaha keras menghadapi perang ini. Gak banyak yang tau seberapa usahanya gue
untuk melawan sikap overthink gue yang sudah over. Kadang, pikiran ini bisa
merembet ke banyak hal yang lagi-lagi—yang banyak orang yang ngerti. Dan pada
akhirnya gue bukan meminta untuk dimengerti. Hanya ingin menyarankan, be good to everyone.
Kita gak pernah tau, sebahagia orang yang ia bagikan pada
story Instagram-nya, sebenarnya sedang berjuang untuk menghadapi rasa sakit
dari perang batin tersebut. Atau banyaknya barang mewah yang ia bagikan,
mungkin dibalik itu semua punya kisah jatuh-bangun pahit-manis yang sudah ia
berhasil jalani sendirian. Dan ada banyak perumpamaan yang gak bisa disebutin
satu persatu. Ketika kita bersikap seenaknya, menganggap bahwa dia benar-benar
bahagia, bisa jadi dia semakin terpuruk karena sikap kita.
Kita gak pernah punya hak untuk mencela apa alasan
orang-orang tersebut berusaha menunjukkan sisi lain dari dirinya. Mereka cuma
ingin terlihat, baik-baik saja. Mungkin ingin mendapatkan positive influence agar ia bisa tegar dan semakin kuat menghadapi
‘dirinya’ sendiri. Nyatanya, seringkali berbeda. Seringkali yang didapatkan
justru hal yang semakin membuatnya berpikir bahwa, “hidup saya ternyata tidak
seberguna itu.”
Tekanan demi tekanan untuk selalu ‘menang’ pada setiap
perang, bikin hal ini sebagai suatu hal yang dianggap biasa aja. Ketika lo
melakukan sesuatu yang ternyata lo tau ada yang salah, tapi lo berusaha bertahan
dengan ketidaktahuan untuk memperbaiki kesalahan itu. Lo justru terus menerus
meyakinkan diri untuk bertahan, berharap akan menang. Tapi, gak selamanya kalah
itu salah. Gak selamanya lo harus kalah dengan berhenti dipertengahan, berusaha
mempelajari kekurangan dari sesuatu yang tidak akan pernah sempurna.
Seringnya bersikap remeh seakan menganggap hal ini lebay
bukanlah suatu hal yang keren, kita tau hidup dikota besar emang punya banyak
banget tantangan, punya banyak kemungkinan. Yang bikin kita punya perang
sendiri dan mengharuskan kita untuk menang. Maka bersikap baiklah sama semua
orang sekalipun dia terlihat sangat abahgia atau sangat terpuruk. Agar kita
punya alasan mengapa setiap orang punya hadiah terindah dihidupnya; perbedaan.
Dan pada kasus yang gue tidak bisa ceritakan, mungkin gue
harus mengalah. Untuk perang yang kesekian kalinya.
No comments: