berbaring

March 17, 2022


Gue kira gue tau kapan harus mengistirahatkan tubuh ini, ketika kerja 9-to-9 sudah sangat menguras badan dan seluruh isinya—termasuk otak yang ikut terperas. Mungkin di beberapa postingan sebelumnya pernah gue sebutkan, bagaimana membingungkannya menjadi seseorang yang bahkan tidak tau limit tubuhnya, dimana sampai harus datang sebuah sakit untuk bisa mengingatkannya.


Hal ini pertama kali gue sadari bermula dari jaman SMP, karena gue berharap bisa izin seminggu dengan alasan sakit tapi yang terjadi adalah gue bisa sembuh dalam -+ 2 hari saja. Alamat gak ada istirahat panjang di rumah—tapi juga percuma sih karena rumah memang gak semenyenangkan itu selain bergulat dengan mimpi-mimpi di otak serta otak-atik kata dalam buku catatan usang.


Sampai akhirnya, saat ini gue sakit dan harus ke dokter dua kali dalam sebulan dengan penyakit yang berbeda. Awal minggu Bulan Maret harus menghadiahi diri sendiri yang masih sibuk bebenah pindah kos dengan penyakit disentri—hahaha payah skali gue dalam pencernaan. Saking seringnya gue pindah kos dan kena disentri, salah seorang temen gue bilang gini sewaktu nganterin gue kemarin ke dokter. “Gak tau ini sugesti ya nad, tapi gue liat-liat setiap lu pindah kosan pasti kalo ga diare ya disentri deh.” Gue ngakak sepanjang jalan sambil menahan badan supaya ga kejungkal dari motor vespanya.


Gue bahkan gak nyadar tentang hal itu.


Selang seminggu setelah sembuh dari sakit disentri, gue kelelahan parah balik dari Paskal dalam keadaan hujan deras, kehausan, dan angin yang super dingin sampai akhirnya demam tinggi dan badan menggigil besoknya. Gejalanya semakin berbeda-beda selama hampir seminggu ini—membuat gue belajar lebih memerhatikan kondisi tubuh gue supaya gue bisa menjelaskan ini ke orang tua dan ke dokter (juga teman-teman yang menanyakan kondisi gue). 


Di Hari Senin, kondisi yang gue alami adalah demam tinggi, sakit kepala, dan badan ngilu. Malamnya demam gue turun namun sakit kepala dan badan ngilunya itu menjadi-jadi. Hari Selasa, masih dengan gejala yang sama tapi diikuti dengan sakit tenggorokan parah dan demam di malam hari. Hari Rabu, gejalanya mirip kayak Hari Selasa tapi ditambah dahak berdarah seharian karena tenggorokan gue luka, cuma malamnya udah gak demam. Tapi ini krusial karena Kepala gue berasa ketarik sampe leher SEHARIAN dan gue bahkan harus tidur dengan posisi paling aman supaya gue ga ngira ini salah bantal. Hari Kamis ini udah membaik, tapi gue seharian batuk kering dan ini annoying banget karena CAPEK.


See? Gue semakin mahir menjabarkan kondisi gue dalam satu paragraf utuh.


Selama empat hari ini, gue melewati tiga malam paling tidak menenangkan dalam hidup. Gue melalui tidur panjang dengan kualitas paling fluktuatif yang pernah gue rasakan—kadang nyenyak, tapi tiga-empat jam kemudian gue gelisah pindah posisi tidur. 


Hari Minggu sebelum gue ke Paskal, gue ditanya oleh seorang teman, “pernah ngerasa bosen ga di kosan? Atau justru betah di kosan lama-lama?” Gue agak berpikir lama waktu itu, karena ya gue gak pernah mengukur kebetahan gue di satu tempat sih—soalnya anaknya bertingkah aja hahaha. “Hm, kayaknya gue akan betah di kosan terus-terusan selama 3 hari sih, lewat dari itu gue akan keluar (kamar),” jawab gue seadanya.


Tapi ternyata itu kejadian, karena keadaan memaksa gue untuk isoman selama 4 hari di lingkungan kos yang baru pula. Gue semakin merasa gak betah akan kesendirian dan kesunyian ini yang membabi-buta masuk ke sela-sela dinding kamar. Keadaan yang sebenarnya tidak harus semenyedihkan itu, karena bahkan salah satu testimoni dari temen gue pernah bilang, “Nadhira kalo ditaro dimana aja bisa dapet temen kok.” “Nad, lu bisa ngapain aja di manapun.” (gue ngetik ini sambil ngakak karena kalo gue masuk barang dagangan shope* sih yang jual bisa dapet star seller ya hahahahaha.)


Seriusan deh, masa-masa kelam dan menyeramkan itu ya selama gue isoman ini. Karena gue kembali bertemu dengan diri gue sendiri, di tengah kesakitan dan tanpa bantuan siapapun, kembali mempertanyakan “siapa sih yang peduli sama gue? Kok gue udah kayak sekarat gini gaada yang nelfon?” Persetan dengan ayang-ayangan, gue bahkan nangis sesegukan karena  butuh Nyokap gue ada di Bandung daripada dia yang ngedumel mulu tiap telfonan sama gue (entah itu salah satu love language-nya) bahkan ketika gue udah gak bisa lagi angkat telfonnya karena gue gak bisa ngomong. Gue iseng upload obat-obatan gue yang banyak banget bikin muntah (dan bau), yang respon juga gak banyak. Gue gak kaget karena ya ternyata segini memang yang mau kontak dan cukup peduli sama hidup gue yang sekarat dan sendirian ini—part ini cukup personal menggeser ke sarkastik aja sih hahaha.


Gue juga jadi banyak ruang untuk berkontemplasi (bukan overthinking) karena kepekaan gue pada gejala-gejala yang hadir di tubuh gue ini, berpengaruh pada kepekaan terhadap diri secara utuh dan perasaan gue yang mendalam seputar banyak hal. Gue merasa sedikit iba dengan kondisi gue karena selama ini yang gue kira baik-baik aja—ternyata enggak. Sejauh ini banyak hal yang mau gue temui, yang ingin gue ajak pergi dan yang gue tinggalkan untuk pergi, berpergian kesana kemari untuk bertemu perbincangan seru maupun tidak, mengurus banyak hal seorang diri dengan manajerial stress yang buruk. 


Wow... Nad, you’re so terrible.


Ternyata, gue sangat amat kelelahan—saking kelelahannya bahkan gue (lagi-lagi) gak nyadar tentang hal itu.


Tapi kerennya, walaupun gue sakit, gue bisa buka kelapa muda sendiri hasil kiriman salah satu atasan gue HAHAHA dan nyoba swab mandiri. Smakin ahli untuk berdikari hahahahaha.

No comments:

Powered by Blogger.