Segelas Earl Grey Tea dan Hujan Badai

March 27, 2022


Hujan jadi cukup menakutkan buatku, setelah sakit yang sempat mewarnai kelabu pada seminggu kemarin. Rasanya membayangkan diri begitu kelelahan akibat kerja bertubi-tubi, agenda nongkrong yang tak bisa kutolak, dan segala buah pikir penuh desakan meluluhlantahkan energi yang ku punya—meski sebenarnya energi yang kupunya juga tidak begitu banyak.

Tapi hujan di Bulan Maret memang menyeramkan, dua pekan sebelum Bulan Suci itu datang dan masyarakat Muslim merayakan kemenangannya nanti di Bulan Mei. Angin berhembus dengan arogan, bersinggungan dengan derasnya air hujan yang mampu mengikis aspal di jalanan yang baru saja kering. Awal gelap yang menaungi selepas makan siang memberi peringatan yang tidak diindahkan kebayangan manusianya—seperti berkata “aku datang membawa badai dan sekutunya.”


Kegundahanku semakin memuncak kala angkot semakin mendekati jalan kosanku, apakah aku harus menerjang hujan ini atau kubiarkan diri untuk berteduh sejenak di dalam minimarket? Lantas aku berlari kecil di bawah payung polkadot hijau, meski tidak bisa menghindari derasnya aliran air di jalanan yang menurun ini membasahi sepatuku. 


Sepatuku cukup lembab dibuatnya, sepasang sepatu yang ku bawa minggu lalu sebelum tubuhku memutuskan untuk mode ‘sleep’ dari hidup ini.


Aku berteduh di bawah minimarket yang memiliki coffee shop di dalamnya, si minimarket yang identik dengan warna merah-biru-kuning ini juga hampir kalah oleh badai yang datang—titik rembesan air dan sebaskom kotor yang mewadahi di bawahnya. Depan pintu masuk tadi juga ramai oleh pengendara motor yang berteduh sambil memprediksi pukul berapa hujan akan berhenti. 


Sejenak mengamati bagaima kekacauan yang dihadapi hari ini, dengan segala tebakan dan isyarat akan cuaca, perasaan, dan kehidupan di menit setelahnya. Apa ada kondisi ideal dari semua ini?


Segelas Earl Grey Tea kupilih untuk menemani otak yang penuh dengan kata demi kata, lengkap dengan urutannya yang best seller dan paling murah. Angin berhembus semakin marah, pikiranku semakin dalam akan perjalanan hidupku beberapa hari terakhir.


Seharusnya begini-begitu, kenapa aku begini-begitu, kemana aku harus melangkah selanjutnya, haruskan aku merasakan ini... dan pemikiran mendalam lainnya dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab.


Sepertinya setiap insan memimpikan kehidupan ideal, stabil dalam segala hal, punya perasaan cukup atas konotasi emosi yang positif (bahagia, terharu, dsbnya), keberuntungan beriringan dengan kesempatan baik yang datang di waktu yang tepat.


Tapi Tuhan tidak memintamu hidup seperti itu, kan?

No comments:

Powered by Blogger.