sisa lipstik dan pertanyaan-pertanyaan yang mengulang titik

April 03, 2022


apa yang kalian pertama kali pikirkan pada pertemuan pertama?

Tentang penampilan dan tatapan matanya?

Tentang seberapa seru percakapannya akan bermuara?

Atau justru semakin gak sabar menanti perpisahan dengan hati yang resah?


Aku selalu kagum dengan kemagisan sebuah pertemuan pertama, melihat bagaimana pertemuanku dengan beberapa orang, di berbagai tempat dengan waktu yang berbeda—memliki kesannya masing-masing. Sama halnya dengan beberapa teman yang kutanyakan seputar pertemuan-pertemuan yang mereka anggap penting dan menarik—atau memang harus dibagikan ceritanya ke orang lain. 


Pertemuan bagiku selayaknya air kelapa hijau di puncak panasnya siang hari, ia menyegarkan dan ringan. Tetap bermakna sejarang apapun kita meminumnya—seperti pertemuan yang mungkin tidak melahirkan pertemuan selanjutnya, namun tetap memiliki arti tersendiri di tiap individunya. Dalam tiap batang rokok yang terbakar meninggalkan jejak abu di atas meja, sisa puntungnya teronggok lemas diatas asbak yang menghitam, lengkap dengan tumpukan tisu bekas dan sampah kecilnya yang menggunung.


Perkenalan kami lahir di malam sepi yang dingin, berteman dengan gemeretak kecil di gigi dan segelas mocktail segar. Udara dingin harus bersanding dengan kudapan dingin juga, itu prinsipku. Tapi ternyata kehadirannya yang tiba-tiba, justru menghangatkan.


Percakapan demi percakapan hadir di sela-sela minggu, tidak selalu tapi setelah kusadari ternyata selalu melengkapi hari-hariku yang sial dan berat. Kadang kami bertandang dari satu kedai kopi ke kedai lainnya, di lain waktu aku hanya melihatnya bersuara di balik layar ponsel tentang dinamika hidupnya.


Rasanya di malam itu aku terlalu canggung untuk membuka percakapan, jadi temaram lampu Jalan Dago mampu mengelabuhi pipiku yang memerah. Bukankah percakapan semakin malam akan semakin intens dan menyenangkan? Kini percakapannya tergantung di bawah malam sepi yang dingin, bersama dengan rasa penasaranku yang tidak berbuah manis—dengan dia yang masih menyembuhkan lukanya sendiri, bersama orang yang baru.


Ingin ku umumkan pada semua orang bagaimana Tuhan selalu bercanda pada perjalanan cintaku yang miris, tragis, dan bau amis. Dia membuatku tidak berkesempatan memilih pada siapa aku berlabuh, lewat manusia yang datang dan pergi ketika aku membuka pintu untuk menetap di sudut ternyamannya. 


Tapi Dia tidak melahirkan rasa penasaran yang menggebu-gebu, menggelikan, dan mewah—pada manusia yang membukakan pintunya untukku.


Pada ujung malam, aku butuh udara segar yang dinginnya mampu menusuk tulang hingga rasa sakitnya bisa mengelabuhi air mataku yang mengalir lembut. Aku butuh rasa sakit lain dari pertemuan mengenaskan yang mematikan kupu-kupu di perutku.


Sisa lipstik di bibir gelas tadi menanggalkan semua rasa penasaran yang bersarang di otak, melahirkan titik yang sempurna untuk pertanyaan tak bertuan. 

No comments:

Powered by Blogger.