Terjadi Setiap Kali

December 18, 2021


Menulis adalah salah satu kelemahanku, kadang dalam jarak-jarak yang berputar dalam rentetan waktu yang melelahkan, aku menemukan pintu hitam terbuka yang merubah suasana menjadi dingin dan mencekam. Menulis adalah seperti itu.


Dalam pintu yang dingin dan mencekam itu, aku menemukan diriku sendiri yang gelap dan tak bernyawa—yang meronta dan memaki diri yang masih bernyawa. Dalam upayaku melihat sisi baiknya, terkadang aku tidak menemukan hal itu.


Menulis adalah seperti itu, yang kutemukan kadang bongkahan batu di ruangan putih yang besar. Tajam dan paling berwarna meskipun hanya sebatas kelabu—tapi itu tetap spektrum warna.


Kadang menulis seperti adzan yang memanggilku untuk berdoa pada Tuhan, sambil meratapi bahwa aku kelupaan untuk beribadah di waktu sebelumnya. Menulis memang seperti itu, yang kulihat dibalik media sosial dengan gerlap-gerlip selebrasi kecil sampai hura-hura. Maupun duka mendalam yang bersembunyi dibalik bantal hingga langitpun bisa tak kuasa membendungnya.


Menulis adalah seperti itu, seperti ketakutan dan kebingungan dan keramaian dan kesepian, dan bentuk kekecewaan dalam suka cita meski haru tetap nyata.


Menulis mungkin memang seperti itu, setiap kata yang lahir adalah lembaran diri yang terbuka. Tiap baitnya mampu menorehkan tinta. Kumpulan paragrafnya merangkum cerita, dan sebuah buku hadir—hasil drama kehidupan yang fana.


Tapi menulis adalah seputar kebutuhan dasar—kebutuhan sederhana yag aku rindukan. Berpulang ke sebuah rumah kecil, hangat—tapi kosong. Menulis memberi nyawa, kadang nyawanya menjadi alasan terakhirku untuk bertahan di muka bumi.


Aku mencintai hal-hal sederhana dalam hidupku, merasakan dinginnya angin malam sambil bertemu di persimpangan jalan dengan pengendara roda dua lainnya. Dibawanya segenggam rasa kantuk dan sedikit peluh, kadang mengucurkan gelak tawa. Meski terkadang sama brengseknya seperti hari-hari sebelumnya, tapi hangatnya lampu jalan yang redup temaram berani meludahkan sedikit harapan untuk tidur dan bangun esok hari.


Mungkin menulis adalah belajar bertahan, untuk setidaknya merelakan bahwa kadang harus ingkar kembali dengan waktu solat subuh yang terlewatkan, atau bujuk-rayu kepada lambung dan paru-parumu dengan asam kopi dan manisnya puntung rokok.


Setidaknya mungkin menulis adalah seperti itu—seperti hidup.

No comments:

Powered by Blogger.