Toples dan Abu

December 07, 2021


Aku cuma bisa beli buku—dan rokok saja.


Kalau hari ini bisa diibaratkan sebagai sebuah lagu, aku akan memilih A Day At A Time-nya Gentle Bones. Kemudian aku akan ikuti alunannya dan menelisik jauh untuk setiap doa-doa kecil yang tumbuh di sela-sela keputusasaan hidup dan pergulatan batin yang tidak menemukan titik akhir. Cerita-Cerita Jakarta yang kubaca perlahan, membuat skenario tersendiri dari dinginnya udara di Kota Bandung, menjadi udara lembab yang menghasilkan keringat—biasa kutemui di sudut Jalan Kemang Raya sambil cekikikan setelah photobox dan menonton Live Music di Kemang Village. Kepulan asap rokok untuk menghangatkan dada bertransformasi menjadi sapuan asap tebal Sate Padang Ajo Ramon di sebuah pasar yang kembali hidup—sempat hampir mati akibat pandemi. 


Hubungan pertemanan yang ternyata masih terus (dan harus) beradaptasi dengan krisis-seperempat-umur, bersinggungan dengan krisis-setengah-umur yang dijalani kedua orang tuaku dari rumahnya masing-masing. Mereka masih menggiring luka-luka dan bekasnya yang mengering, mengoreng, sedikit bernanah diujungnya. Perih—meminta untuk diklupas.


Anak lelaki di ujung Terminal Blok M sibuk menggenjreng ukulelenya yang sumbang dengan senar gitar yang mengendur, kadang tertawa membawa pulang receh-receh yang terperangkap dalam gelas plastik bekas air mineral. Terlempar memori sebuah perpisahan kecil di pintu keluar Gandaria City, setidaknya menjadi pertemuan pertama dan terakhirku dengan si pemilik hati di masa SMA, meski begitu pertemuan yang “hampir” terjadi setelahnya, sengaja ku batalkan demi menjaga kewarasan topik pembicaraan dan akal sehat.


Berlari, yang kubisa lakukan setiap hari adalah berjalan—dan beberapa kali berlari. 


Aku selalu rindu dengan ramainya Jakarta Selatan yang bikin runyam isi kepala, dengan pemantik masalah yang membuatku kabur dan akhirnya terjebak di kota penuh tanjakan-turunan ini—juga ramai dengan bentuk-bentuk kekesalan akan si Ibukota. Meski begitu, Lebak Bulus tetap menjuarai hatiku—kadang aku mengingat ibuku disana. Berpindah dari satu angkot ke angkot lainnya, untuk kemudian dilanjutkan dengan naik becak beserta beberapa kantong plastik dari swalayan terbesar disana. Di bawah jalan layang Pasar Jumat, aku bertemu dengan kepingan memori gadis berseragam putih-biru tua yang meringkuk dan mengutuk hidupnya, sambil berangan-angan dalam angkot putih D09 apakah rasanya menyenangkan untuk bisa hidup di luar kota ini yang sumpek dengan harapan, patah hati, kenangan, dan pelarian.


Siapa yang menyangka aku bertemu lagi dengan gadis yang—sayangnya masih menangis—di pinggir Jalan Gandaria Tengah, sambil terisak dengan nilainya yang paling buruk sekelas. Mempertanyakan eksistensinya tidak bisa diterima di universitas negeri impian, merasa gagal dan hidupnya berhenti disitu saja. Ingin kuhampiri gadis itu dan berkata: “kamu masih bisa hidup, goblok!” Berjalan jauh sekali hingga ke Halte Transjakarta Kebayoran Lama, hanya karena ingin bisa nangis dan bengong setelahnya.


Tapi ada satu tempat yang tidak ingin kulewatkan, di ujung pertigaan Perumahaan Pondok Indah yang hujan deras, arus air menyapu jejak di jalanan aspal menuju hilir yang paling bawah—selokan. Aku memotret tiga anak berseragam serba putih yang berusaha berteduh, agak tidak basah kuyub dan masuk angin sampai rumah nanti. Ditemani candaan “rumah Ahmad Dhani di sebelah mana ya?”—jauh sebelum PIM 3 gagah berdiri dengan gemerlap dari pantulan kaca yang menutupi jiwa-jiwa yang haus akan hiburan. Mereka saling tertawa—dengan harapan-harapan kecil yang tumbuh diselanya, atau bentuk ketakutan dan kekecewaan yang disimpan rapat dalam pintu kesendirian—bentuk 'mencoba dewasa'. 


Aku membuka lemari-lemari memori tersebut—penuh dengan hal-hal yang sudah cukup untuk kuingat-ingat lagi—setelah peristiwa saling sentak yang menghancurkan mimpi seorang gadis untuk berpesta pora di rumah milik neneknya—yang besar, putih, kosong, dan hampa.


Ia coba isi rumah tersebut sedikit demi sedikit dengan hangat, pemantik apinya terlalu kecil untuk menumbuhkan kehangatan yang berakhir dengan meluluhlantahkan seisi rumah—juga dengan ego manusia di dalamnya—menjadi abu, hangus tak tersisa. Dimakan amarah itu sendiri.


Sakitnya masih ada dan tetap bersarang disana—entah sampai kapan. Akupun berusaha melihat gadis tersebut untuk belajar agar tidak menghabiskan orang-orang terkasih menjadi abu—terbakar amarah. Meski ujungnya yang kulakukan hanyalah seputar lari dari masalah.


Dalam lemari tersebut, masih ada serpihan abu dan riak air mata yang ditutup dengan toples rapat-rapat. Dibuka perlahan bersebrangan dengan rumah terakhir kami disini, masih dengan perangai yang sama. Kembali membuka memori dengan kejadian meledakkan kembang api ke garasi rumah, karena dorongannya tidak kuat untuk ditahan gadis kecil berusia sepuluh tahun—ia masih ringkih dan hanya kuat menopang mimpi-mimpinya yang tercipta lewat buku Kecil-Kecil Punya Karya. 


Kadang kubawa toples tersebut ke Tanah Kusir, tempat peristirahatan terakhir dua orang kesayanganku sepanjang hayat. Rekam tangisnya masih terdengar jelas di telinga, kadang menggema menjadi doa yang tidak punya kata penutup seperti skripsi. Pasar Mayestik selalu punya cerita tentang warung nasi tersembunyi di basement paling bawah, yang bahkan sinyal saja enggan masuk kesana. Bayangan ibuku sibuk makan nasi rames tergambar jelas disana.


Tapi sesungguhnya, aku akan mengutuk sampai mati Jalan Radio Dalam. Meski rumah salah satu sahabatku ada disana, meski hidupku selama dua tahun hampir kuhabiskan disana. Tapi perjalanan di Radio Dalam terasa seperti neraka, dengan angan-angan yang bertemu dengan kepulan asap Koantas Bima atau dingin membeku di bawah pendingin bus Transjakarta Ciputat-Tosari yang menghabiskan berjam-jam waktu berhargaku semasa SMA—lengkap dengan pegal linu di sendi kaki. Sungguh, tidak akan lupa bahwa sebenci-bencinya aku dengan Radio Dalam—terkadang aku melihat gadis itu di lampu merah, menunggu dengan sabar dan gembira, berboncengan dengan si pemilik hati yang kini sudah punya jalannya sendiri.


Tapi sekarang, sudut-sudut di kota itu hanya bisa kunikmati sendiri dalam kepala. 


Kadang terhalang waktu, rasa, uang—bahkan luka itu sendiri.


Tapi aku masih berdiri disana sambil merogoh isi lemari, si pemilik mimpi—yang terkukung di dalam angkot tadi, ia akan tetap tersimpan diantara abu dan air mata. Perjalanannya berkelana dalam ruang mimpi yang tidak terbatas, eksplorasi kaya rasa meski menempuh waktu berjam-jam terjebak kemacetan dan sautan klakson yang ingin dijadikan orkestra. Dalam raga kecilnya, ia bisa melihat bahwa ternyata sebuah tempat bukan hanya seonggok lahan untuk ditinggali. Sebuah tempat bisa bernyawa, meninggalkan rasa dan menumbuhkan kenangan untuk terus dipertanyakan keberadaannya.


Gadis kecil itu kembali ke rumah dalam balutan seragam serba putih, bertahun-tahun ia menungguku datang—untuk bisa menyapa dan berkelana bersama.

No comments:

Powered by Blogger.