kita semua memang menyedihkan

January 15, 2023


Sejujurnya, gue selalu takut dengan Bulan Desember.


Dalam satu hari yang sempit, gue menemukannya terbujur kaku. Iasi Bulan Desember itutak berdaya menampung kesedihan dengan terus menghujani tanah yang semakin berlumut. Rumah-rumah semut yang banjir, ratusan tikus yang merantau, dan sedikit tawa suka cita natal di penghujung tahun. Tapi memang gue akui kesialan hidup gue seringkali bermula di Bulan Desember, entah kenapa Tuhan punya cara-Nya untuk membuat gue menangis di bawah air hujan agar bisa melebur dengan kesedihannya. Rintik hujan jatuh tepat di tiap detiknya yang terus berganti, sama seperti perasaan yang tak kunjung pergi.


Kadang di Bulan Desember, gue harus punya tameng tersendiri supaya bisa baik-baik aja di depan mereka. Gak jarang gue menemukan orang yang mahir menutupi emosi asli yang sedang ia rasakan, biasanya karena gak mau merusak suasana yang adaatau mungkin mereka rasa, emosi tersebut gak perlu ditunjukkan ke orang lain. 


Gue sering melakukan keduanya, yang sering gue lupa adalah kedua hal itu ternyata butuh energi yang lebih banyak.


Ada satu hari dimana gue gak fokus melakukan pekerjaan gue, satu hari dimana sebisa mungkin menutupin keresahan hati gue. Tapi Tuhan gak pernah gagal kasih gue hal-hal baik yang harus gue syukuri, bersama teman-teman gue coba untuk memupuk rasa bahagia sedikit demi sedikit.


Di malam itu, gue menyadari bahkan kesedihan, kegelisahan, ketakutan, juga ekspektasi yang harus disudahi ternyata gak bisa dipikul sendiri di pundak kita masing-masing—selalu terlihat jelas meski langit sudah gelap.


Kehilangan adalah perasaan paling tai yang males banget kalo harus gue rasain berulang-ulang—terlebih dalam kurun waktu yang sebentar. Hilang kontak dengan orang yang dulu pernah dekat, hilangnya harapan, sampai hilang diri sendiri gak tentu arah. Gue juga merasakan kehilangan dari orang-orang terdekat guebapak dengan cintanya yang hilang, sahabat yang hilang rasa, teman yang kehilangan sanak keluarga. Kata seseorang, kita tuh gak pernah benar-benar kenal orang lain. Mungkin gue gak pernah kenal perasaan yang orang lain rasain, gak pernah benar-benar mengenali seberapa sedihnya ibu kala itu, atau patah hatinya bapak saat ini, atau mungkin bisa aja gue terlalu naif untuk berpikir semua orang baik-baik saja, karena ternyata memang kita semua menyedihkan sesuai porsinya.


Gue seperti merasa gagal membuat mereka utuh, bahkan lupa kalo gue juga sama kosongnya.


Entah kenapa gue jadi familiar melihat dan merasakan kehilangan, sekeras apapun gue menahan keadaan untuk tetap seperti pada masa-masa indah itu terbentuk. 


Sama seperti masa lalu yang mau kita kubur dalam-dalam karena hanya teringat kenangan buruk disana, ada juga masa depan yang punya kadar sama untuk dikhawatirkan—kita lupa manusia punya dua hal itu yang gak kita ketahui sepenuhnya.


Tulisan ngalur-ngidul ini mungkin salah satu bentuk pesimistik yang kerap gue rasakan, mungkin juga salah satu hal yang mematahkan kenaifan gue dalam melihat hidup yang sebenarnya. Kalo kata rintiksedu mah, karena ada banyak hal yang harus di-gapapa-in.


Di waktu yang lumayan bikin sesak dada jam tiga dini hari, rasanya cuma mau lihat bulan yang lagi sombong karena bisa quality time sama matahari yang menyinarinya. Sambil mikir, kenapa ya hidup gue gini banget?



No comments:

Powered by Blogger.