Ruang-ruang

November 14, 2022

Archive // 2021

Hari itu gue bertemu salah seorang teman dari Bandung, pada suatu Sabtu sore selepas hujan dan banjir telah berhasil mengepung Kemang beserta barisan mobil-mobil besarnya. Ada hal menarik ketika dia membahas tentang orang-orang penting di sekitarnya yang terasa seperti rumah—tempat untuk kembali pulang. Walaupun kita juga paham satu hal konkret—tidak ada rumah yang sempurna.

Lalu ada pertanyaan terbesit di kepala, bagaimana kalo ternyata manusia diciptakan atas ruang-ruang kosong?


Meski secara biologis tentu saja hal itu mustahil dan terlalu sederhana, tapi bayangkan kalo sebenarnya memang itu kenyataan—manusia lahir dari ruang-ruang kosong yang membentuk rumah berwujud diri sendiri.


Rumah memang identik dengan wujud bangunan yang menaungi orang-orang di dalamnya, sehingga beragam bentuk emosi bisa tercipta dari interaksi di rumah. Ruang-ruang kosong yang tercipta berwujud diri sendiri kemudian bertemu dengan ruang kosong lainnya, membentuk keterikatan emosional. Menurut gue, setiap orang yang hadir di hidup ini membentuk ruang di kehidupan orang lain. 


Cara gue menata proses patah hati adalah dengan menganalogikan pertemuan sebagai wujud dari ruang-ruang, mempertemukan ruang-ruang kosong di dalamnya—terbentuklah suatu kata lain dari nyaman bernama rumah. 


Bayangkan orang tersebut datang dan kalian dengan hati yang besar menyediakan ruang kosong untuknya, lalu ditata bersama, disinggahi begitu lama. Namun, setelah sekian lama menata dan berkehidupan di ruang tersebut, semakin banyak barang dan peninggalan di dalamnya sehingga mungkin salah seorang di dalam ruang tersebut merasa bahwa tempat yang menaunginya terlalu kecil, sumpek, lembab—bahkan ketika sudah ditata ulang.


Alhasil orang tersebut pergi, meninggalkan ruang yang mungkin sudah ditata bersama—atau ditata olehmu untuk orang tersebut.


Persis seperti Raditya Dika memahami konsep perpindahan di buku Manusia Setengah Salmon, konsep ini yang dilakukan oleh sekelompok ikan salmon untuk bertahan hidup. Sebuah rumah yang akhirnya sudah terlalu banyak barang—lalu akhirnya dia memilih pergi mencari rumah baru yang lebih besar. Kalau kita mau pindah ke tempat yang baru, kita harus siap untuk meninggalkan yang lama, begitu katanya.


Ruang kosong yang gue analogikan ini juga berdasarkan pengalaman temen gue dan seseorang yang penting di hidupnya—pada suatu waktu orang tersebut memilih untuk pergi dengan ragam alasan. Ruang yang sebelumnya sudah ditata bersama, lalu merajut mimpi dan gagasan tak berkesudahan, raib sudah diambil oleh waktu. Si empunya ruangan resmi meninggalkan bahkan ketika pintu ruang tersebut tak pernah diganti kuncinya, tetap sama dan hanya ia yang memilikinya.


Perkara rumah dan ruang dalam diri kita bisa jadi sangat kompleks jika dipertemukan dengan wujud waktu berkedok takdir.


Anehnya, konsep tersebut menjadi lebih dalam jika diimplementasikan dalam wujud manusia. Gue jadi lebih mudah memahami banyak hal seputar perspektif yang berbeda, respon yang menarik hadir ketika gue bisa ‘menyalakan’ ruang di hidupnya, dan hal lainnya yang memperkaya pengalaman gue dalam berinteraksi dengan orang.


Bagi gue, itu cara termudah yang bisa gue lakukan untuk memahami proses datang dan pergi seseorang di hidup—menganalogikan pertemuan dan perpindahan atas dasar ruang-ruang yang memperkaya emosi di dalamnya.


No comments:

Powered by Blogger.