Bahasa Estetika

November 06, 2022

 


Angin tidak sekencang hari-hari sebelumnya, meski kepulan awan di langit cukup mengkhawatirkan karena rentan gerimis-bubar—melihat banyaknya pegawai di kantor yang mengobrol di taman ini. 


Ada diskusi menarik yang pernah terjadi dengan teman-teman kantor sewaktu asik istirahat sore hari, obrolan-obrolan ringan terlempar percuma ke ruang pembicaraan setelah hampir seharian sibuk berkutat dengan rapat, menyusun deck, dan hal-hal lain sebelum minggu ini berakhir. Memang Hari Jumat selalu penuh dengan desak kerjaan yang tak terduga, juga sumpah-serapah meski besoknya bisa leha-leha.


Seorang teman menanyakan tentang pekerjaan gue di kantor sebelumnya, bersinggungan dengan banyak seniman dan pelaku seni lainnya membuat ia cukup penasaran. Rasa penasarannya juga mengarah ke bagaimana sebuah karya seni memiliki nilai jual, cara bertransaksi dalam dunia seni, dan hal-hal yang sangat tabu buat kami—pekerja kreatif di luar lingkup seni.


Mungkin terlihat terlalu mengotak-kotakkan antar lingkup kerja, tapi memang buat kami ini juga hal yang baru. Bahkan buat gue yang udah mencoba di bidang tersebut, semua terasa masih mengawang dan asing—walaupun seru untuk dijalanin.


Kalo gue bisa analisis lebih jauh lagi, terlepas dari latar belakang dan minat seseorang yang berbeda-beda. Ternyata lingkungan juga sangat memengaruhi akan perspektif dari bahasa estetika yang dimaksud disini adalah output dari interpretasinya akan suatu hal (brief klien, request divisi lain, dsbnya).


Kantor baru gue sekarang cukup berbeda dengan industri gue sebelumnya, jadi proses adaptasinya lumayan menantang buat gue pribadi. Biasanya gue memulai sesuatu dengan teratur, based-on brief Creative Director gue. Sekarang gue tergantung request, kadang sehari gue ga kerja sama sekali. Buat gue yang merasa setiap kerjaan gue perlu ada esensi dan karakteristik gue di dalamnya, gue sebetulnya agak merasa kosong dengan metode ini. Tapi, semua adalah seputar adaptasi—jadi dibawa enjoy aja.


Dari beberapa hasil kerja gue di kantor yang baru, dipengaruhi besar dari kacamata Art Director melihat pembacaan estetika audience-nya secara gak langsung. Meski berupa asumsi, hal ini sebetulnya bisa simbiosis yang menarik—karena dibentuk dari asumsi dan melahirkan asumsi baru dr kacamata audience.


Isi kepala gue masih penuh dengan banyaknya ragam perspektif perihal desain yang baik dan kurang baik, desain yang komunikatif dan tidak, desain yang solutif dan tidak. Terlepas dari kurangnya ilmu grafis yang gue punya, pertanyaan itu jadi terus berputar di kepala gue karena bahkan ketika gue tanyakan itu ke beberapa teman gue yang menjadi desainer grafis—mereka juga gapunya jawaban yang memuaskan buat gue.


Kemudian di salah satu postingan Instagram Studio Yord mempertanyakan esensi sebagai seorang desainer grafis dan seberapa penting posisi desainer grafis dalam mengomunikasikan desain itu sendiri—interpretasi gue seperti ini sih. Lalu ada salah satu thread di Twitter dari @muhraufan tentang idealisme akan clean design yang kerap digaungkan dengan konsep minimalisme yang dianut oleh sebagian besar cara berkehidupan di Jepang.


“if the design works, it works.”


Beliau melihat referensi clean design ala Jepang untuk website, dengan website di Jepang yang sebenarnya sangat jauh berbeda. Kebiasaan orang Jepang yang suka membaca menjadikan UI yang sebenarnya pada e-commerce di Jepang terlihat menumpuk karena informasi dibuat sedetail mungkin. Berbeda dengan Indonesia yang lebih melihat harga serta promo yang tersedia, sehingga hal itu yang lebih di-highlight daripada informasi mengenai produknya.


Menarik, berarti sebenarnya pekerjaan yang gue lakukan saat ini sebenarnya memang berhasil menyentuh target market? Meski terlihat seperti seorang drafter ketimbang desainer—tapi bisa aja pembacaan desain audience-nya harus gamblang dan berwarna untuk memperlihatkan effort ‘desain’ nya itu sendiri. Apakah itu suatu hal yang eksklusif atau pembacaan estetikanya memang dari kacamata yang masif?


Atau ternyata posisi gue sebagai desainer grafis tidak sepenting itu karena smua orang bisa mempelajari tools yang gue gunakan? Bentuk solusi apa yang gue tawarkan ke kantor dari sisi pekerjaan yang gue lakukan? apa sebenarnya.. gak ada?


Entahlah, lagi-lagi ini hanya buah pikir.

No comments:

Powered by Blogger.