Tertinggal di Bandung

October 03, 2022


Sejujurnya, gue kangen Bandung.


Gue selalu membayangkan masuk angin di perjalanan selepas pulang kerja karena diterpa anginnya yang kencang—terlebih seusai hujan. Atau justru meromantisasi hujan di malam hari yang sendu dan teduh—tapi kosong. Meski tentu saja, gue akan terus memaki matahari yang menggosongkan kulit ini, di tengah antrean puluhan motor di perempatan lampu merahnya. Gue selalu kangen obrolan yang menclak-menclok dari candaan sampai kerjaan, obrolan intelektual sampe hal-hal yang bikin mual, dari patah hati sampai sibuk berhaha-hihi.


Gue selalu kangen Bandung dan kepulan asap truk yang kurang ajar di perempatan Jalan Merdeka, barisan mobil yang lamban dengan sabar mengantre di lampu merah tanpa sautan klakson saat lampu hijau menyala baru saja sedetik berlalu. Entah kenapa, Jakarta tidak ingin melewatkan sepersekian detiknya untuk bersabar melepas rem dan menginjak gas.


Mungkin yang tidak gue ceritakan ke banyak orang adalah bagaimana emosionalnya meninggalkan kota yang cukup lama bersemayam di hati gue, kota yang menjadi keputusan terbaik gue untuk kabur dari semua hal meski gue tau—gak bisa selamanya seperti ini.


Di hari-hari terakhir gue sebelum kepindahan, kamar kos yang menemani gue selama kurang lebih empat bulan itu, ternyata gak bisa jadi selamanya tempat kecil untuk gue bernaung dengan segala emosi yang gue bawa ke dalamnya. Berkali-kali pindah kos untuk mencari yang ternyaman, pas ketemu ternyata harus pisah ke yang lebih jauh. Ternyata ada kekosongan besar dalam diri sendiri dan Jakarta menyambut gue dengan pelukan hangatnya—meski asing.


Di beberapa penggalan pagi hari, gue gak pernah lupa agenda ngopi murah di gang-gang kecil sampai lupa waktu bergulir dengan semena-mena. Akan selalu merindukan jogging-jogging tipis ke Pasar Gempol, melewati ibu-ibu yang heboh mengobrol tanpa jeda tapi masih mau kusapa dengan ‘punten’ saat melewatinya. Tidak pernah melewatkan malam minggu tanpa melewati Jalan Dago, dengan deretan motornya yang sibuk memamerkan komunitas kebanggaan.


Gue selalu kangen Bandung yang hangat dengan orang-orang yang gak sengaja ketemu dan melahirkan berbagai bincang seru dan membekas, lewat mereka gue belajar banyak sampai akhirnya bisa melahirkan karya-karya kecil yang belum tersusun sempurna. Menjajaki lagi penggalan petang menuju malam, dengan perbincangan yang makin mendalam.


Kata salah seorang teman kecil gue yang memutuskan merantau (lagi), ia bilang semua butuh waktu meski gue lahir dan besar di ibukota. Memang benar dan sulit. Perbandingannya kontras namun tidak terlihat, di kota ini gue belum menemukan hal-hal yang familiar seperti Bandung, padahal belasan tahun pernah hidup dan mencicipi udaranya. Kadang masih asing, seringkali terasingkan. Tapi toh, pilihan sudah ditentukan dan hidup harus berjalan sebagaimana mestinya. Semua mulai lagi dari awal.


Sekarang kota ini sedang hujan, meski tentu—yang gue ingat selalu tentang hujannya Bandung.


Tapi, mari kita jatuh cinta dan patah hati lagi ya, Jakarta.

No comments:

Powered by Blogger.