my life before 20th
| dok. pribadi |
Iya, gue memang belum berumur 20 tahun. Makanya gue tulis
‘my life before 20th’ karena suatu hal. Gue punya sekelompok
pertemanan yang sehat, kenapa gue bilang sehat? Karena kita cukup jarang ngegibah orang, lebih sering cerita keluh
kesah sehari-hari. Atau kadang simple
thoughts yang tiba-tiba aja kepikiran, kadang seringnya kita bicara hal
yang cukup serius. Sampai suatu hari, tiba-tiba salah seorang teman gue
menyadarkan, “gila, tahun ini gue udah umur 20 tahun. Tapi gue masih gini-gini
aja.” Gue dan mereka punya selisih satu tahun, mereka satu tahun di atas gue. Gue pikir, apa yang salah dari gini-gini aja? Bukannya ada saatnya semua orang punya titik balik dikehidupannya sendiri?
Gue terkekeh, membalas pesannya di group chat kita dengan sindiran ringan kalau gue masih berumur 18
tahun. Tahun ini pun sebenarnya gue masih 19 tahun, masih ada napas 2 tahun kan
buat nyicipin 20 tahun?
Kemudian gue terdiam, ada
apa dengan umur 20 tahun? Kata orang, di umur 20 tahun kita bakal semakin
dibukakan dengan dunia nyata, semua jadi serba cepat. Perubahan jadi hal yang
gak bisa kita pungkiri lagi. Yang gue lihat, seorang perempuan berumur 20 tahun
akan terlihat lebih mature, lebih
dewasa—biasanya diikuti dengan pola pikir dan pola hidup—gak lupa juga seorang
laki-laki, lebih kelihatan aja mau jadi macho
atau nggak. Pemikiran mereka jadi punya konsep sendiri, menerima perbedaan walaupun
harus berseteru dulu, pikiran mereka juga jadi lebih kompleks.
Pusing deh, pokoknya.
Cara mereka buat healing
themself juga makin beragam, karena mereka sudah menerima banyak perbedaan.
Gak sedikit dari mereka yang terbiasa beda dari yang lain, beda sama masa
pubertas—bawaannya pengin ikut-ikut orang—tapi keduanya sama-sama memusingkan.
Sayangnya, di umur 20 tahun, menurut gue udah gak bisa lagi namanya plin-plan
ambil keputusan. Every decision you make, are to represent yourself in
different way. Itu sih menurut gue, seorang anak yang masih punya napas 2 tahun
lagi ke umur 20 tahun.
Walaupun sebenarnya, dari detik kita hidup sekarang, kita
sudah dilatih untuk berani mengambil resiko dari setiap keputusan. Gak bisa ada
kata nyesal, gak bisa ada kata ‘gak bisa’. Kata temen gue mah, “nothing to lose lah.”
Jadi, gimana hidup gue sebelum nanti berumur 20 tahun?
Gue gak bisa bilang baik-baik aja, seperti yang gue
ceritakan di Selamat Datang, Tahun Baru. Cukup banyak naik-turun, pasang-surut yang
udah gue jalanin sampai akhirnya berhasil di hari ini. Akhirnya.
Tapi, yang bikin gue semangat menanti umur 20 tahun adalah,
apakah dunia akan sekompleks itu pada akhirnya? Rumitnya otak sendiri aja bikin
gila, gimana menanggapi rumitnya otak manusia lain? Gue punya salah seorang
teman yang waktu itu sudah berumur 20 tahun, dia cerita banyak tentang keluh
kesahnya tentang hidup, tentang keluarga, teman, sampai hal cinta-cintaan. Pada
akhirnya gue pikir, ah masa iya sih
sebegitu susahnya? Pertanyaan itu belum bisa gue jawab, pola pikir gue yang
masih kebawa 17 tahun (menurut gue) disangka udah sedewasa itu buat nanggepin
dilematika hidup. Ringkasnya, seorang teman gue yang lain pernah menganggap gue
berumur 20 tahun karena katanya gue sudah berpikir dewasa.
Gue ketawa pas tau itu, rasanya aneh aja. Apa yang buat dia mikir gue kelihatan dewasa
secara pikiran? Lulus kuliah nanti (kalo kesampaian 4 tahun) umur gue baru
aja menginjak 20 tahun. Ibaratnya, gue baru keluar dari cangkang telur ketika
tubuh gue benar-benar baru kebentuk sama Tuhan. Gue jadi manusia baru, dengan
adaptasi yang baru, di lingkungan yang baru pula. Sontak gue kaget, gila sih ini.
Jadi bagaimana hidup gue sebelum 20 tahun? Dan apa
setelahnya?
Jawabannya, selalu ada cerita menarik meskipun tidak
semuanya menyenangkan.
No comments: