merayakan patah hati
| dok. pribadi |
[ tulisan ini adalah hadiah ulang tahun seorang teman untuk
umurnya yang menginjak 19 tahun. Sehat selalu! ]
Nama: Awan Praditya.
Kelas: SCI
No. Absen: 3
Menapaki tempat asing untuk pertama kalinya, gemerlap
Jakarta dan segala hiruk-pikuknya memenuhi seluruh ruang pikiran gue, seketika
momen-momen di Surabaya terulang kembali—perasaan takut di tempat baru, dan
rindu di tempat lama. Harusnya gue gak
sedramatis ini, tapi ini gue. Seorang perantau baru, yang akan memulai momen
terakhirnya dalam dunia persekolahan di Jakarta. Gue gak bisa bayangin apa yang
akan terjadi selama tiga tahun ke depan—atau apa yang seharusnya terjadi selama
tiga tahun ke depan.
Ralat, dua tahun ke depan.
Menjadi anak akselerasi mungkin bagi sebagian besar orang
akan mengganggap itu suatu hal yang luar biasa, termasuk gue—si perantau yang
baru menginjakkan kaki di Jakarta ini. Seorang Awan akan memulai hidup barunya
di Jakarta tanpa petunjuk apapun selain: belajar dan paskibra. Kecintaan gue
dengan dunia paskibra udah terbentuk dari SMP, selayaknya cinta pada pandangan
pertama. SMA yang baru gue tempati bisa jadi awal segala kerumitan hidup dan
jembatan untuk segala kenangan. Kerumitan hidup pertama: akhirnya gue jatuh
cinta—kali ini sama orang.
Memanfaatkan dua tahun yang tersisa ternyata gak mudah,
melewati kerumitan hidup pertama adalah salah satunya. Namanya Risa, panggilan
imutnya Ica—tanpa ‘h’—anak Jakarta dari bayi yang udah anggap Jakarta lebih
dari sekedar rumah, melainkan sel DNA di tubuhnya. Naik-turun hidupnya udah
dijalani di Jakarta; friendzone
pertama, ditinggal untuk selamanya oleh yang tersayang, sampai dikhianati orang yang
harusnya menjadi tersayang. Namanya Risa, dia cinta pertama seorang Awan.
Dari dulu, gue selalu bahagia berada di zona nyaman. Gak
pernah berani buat keluar dari zona tersebut karena buat apa? Jadi, mengajak orang berkenalan adalah salah satu hal
yang sangat gue hindari. Tapi sialnya, tangan kanan gue justru menjulurkan
dirinya ke hadapan Ica. “halo, gue Awan.” Dia melihat gue, matanya mulai
berkata orang aneh apa nih? Namanya Awan
tapi lebih mirip langit mendung. “Ica,” jawabnya singkat, tapi suaranya
menggema di otak gue begitu lama. Kita tersenyum, gue membawa senyumannya
hingga mimpi, sedangkan dia (mungkin) membawanya hanya sampai keluar pintu
kelas.
Dari Ica, gue berkenalan dengan banyak manusia lain di
sekolah gue, dari kakak kelas sampai adik kelas. Hingga akhirnya, gue bertemu
sama Ningsih. Disini, gue bertemu kerumitan hidup kedua.
Ningsih adalah teman gue dari kelas IPA, gue lupa persis
awal gue ketemu sama dia gimana, yang jelas semakin lama Ningsih bukan lagi
berkeinginan menjadi teman gue—melainkan terobsesi. Gue awalnya gak menyadari
hal itu, tapi makin lama agaknya makin risih kalo selalu diikutin kemana-mana,
harus ajak dia kemanapun, dengerin cerita dia yang sangat gak penting—pokoknya,
ketemu dia menguras waktu gue menjadi hal yang gak penting banget deh. Segala
hal yang berhubungan dengan Ningsih gue coba buat hindari, mulai dari latihan
paskibra bareng, nonton bareng, ke kantin bareng, bahkan kalo dia minta pulang
bareng, gue lebih memilih sama Mila—teman sekelas gue—karena lebih gak
merepotkan bagi gue.
Tapi semakin hari, dia semakin menjadi-jadi.
Mila yang paham kondisi gue, coba membantu gue dengan lebih
banyak main sama kelas sendiri, daripada harus ketemu sama Ningsih. Lagipula,
banyak tugas dan kerja kelompok membuat intensitas gue ketemu Ningsih juga
berkurang. Walaupun sampai gue lulus, gue masih seringkali ‘diteror’ sama dia.
Cuma dua tahun itu sangat kurang, ditahun pertama, fase
adaptasi menjadi hal yang sangat sulit gue lakukan. Merasa dikucilkan karena
cara bercanda gue berbeda dari yang lain, cara bermain gue, lingkup pertemanan,
bahkan latar belakang gue sendiri. Gue merasa anak Jakarta adalah anak
superior, mereka punya banyak andil dalam hidupnya sendiri, sedangkan gue, urusan
nilai aja masih diurusin bokap. Makin hari, gue makin mengenal teman-teman
sekelas gue. Ada yang orangnya garing banget, ada yang jaim banget, dan
sebagainya. Tanpa gue sadari, segala hal yang kita lakuin bersama menjadi
kenangan tersendiri buat gue.
Dan ternyata, ini adalah arti keluarga. Lo gak perlu harus
sama, cukup saling bersama.
Ica tetap menjadi alasan gue untuk terus berada disamping
dia. Gue melabeli diri gue sendiri sebagai teman segala kondisi. Gue berusaha
selalu ada, cuma untuk Ica. Gue jemput dia kalo mau main bareng, gue yang
datang ke rumah dia pertama, gue yang antar dia ke rumahnya, dan sebagainya.
Walaupun gak sering banget, tapi gue bahagia aja. Gak deng, bahagia banget.
Tapi makin hari, gue dan Ica gak ada perkembangan. Label teman segala kondisi
sepertinya akan tetap seperti itu, hingga tahun kedua gue di sekolah ini
berakhir. Sayangnya, bukan cuma gue doang yang melabelkan diri sebagai teman
segala kondisi, ada orang lain tentunya.
Pacarnya Ica.
Hari itu Mila cerita ke gue, dia pernah bilang ke teman
dekatnya waktu SMP, kalo dia pernah suka sama cowok itu. Dia cerita dengan
gayanya yang menggebu-gebu, tapi dia akhiri dengan bilang, “walaupun dia gak
suka sama gue, tapi gue lega karena udah bilang. Toh gue memang gak mau pacaran
sama dia, dia udah cukup baik sebagai abang gue.” Dalam diam, gue bertekad
untuk bilang ke Ica kalo gue suka sama dia. Apapun hasilnya, apapun reaksinya.
Sayangnya, gue keduluan. Pacarnya Ica saat itu berhasil merebut hati Ica, cewek
yang berhasil masuk ke mimpi gue hanya karena senyumannya. Gue baru sadar,
selama ini gue cuma menjaga hati gue sendiri, lupa untuk menjaga hati orang
yang gue suka dari dulu.
Hari itu, gue menjadi Awan Mendung. Gak ada lagi Awan
Praditya dengan kulit kelingnya, karena kelamaan di lapangan buat latihan
paskibra. Gak ada lagi Awan Praditya yang sering dikejar-kejar Ningsih karena
cewek itu kelewat gila. Gak ada lagi Awan Praditya, semua jadi mendung karena
hati gue ikut kerebut sama yang lain. Masa-masa mendung itu berlangsung lama,
hingga akhirnya gue lulus SMA dan pindah ke Bogor karena berhasil lolos PTN
ternama disana.
Adaptasi lagi, merindu lagi. Kali ini gue cukup merindukan teman-teman
kelas gue yang super-mini itu—juga Ica. Dia berhasil masuk ke salah satu kampus
swasta ternama di Jakarta. Bogor-Jakarta kayaknya gak terlalu sulit, namanya
juga masih awal semester. Hari itu, adalah pertemuan pertama gue dengan teman-teman
kelas gue selepas kita lulus UN.
Dari rentetan kejadian yang gue alami selama dua tahun itu,
gue menyadari adanya arti kebersamaan dari sebuah perbedaan. Teman-teman gue
semuanya beda, 180 derajat berbeda. Yang gue heran, kenapa kita bisa bareng
terus ya? Selain itu, gue juga belajar untuk merelakan. Dari pertemuan gue
dengan Ica, gue sempat punya pikiran untuk pacaran sama salah satu teman
Ningsih. Namanya Lala, tapi waktu pacaran kita gak bertahan lama. Kita emang
udah gak ada rasa lagi saat itu, juga Ica yang terus menggema di otak gue. Gue
sadar, hal yang gue jaga cukup lama, bukan berarti gue berhak untuk menjaga hal
itu selamanya.
Daripada bersedih terlalu lama, mari kita rayakan patah hati
ini bersama.
No comments: