percakapan ini berakhir pukul 12
| dok. pribadi |
Hari itu bisa jadi hari tersial gue selama bulan ini—mungkin
juga tahun ini.
Bandung cuacanya lagi random
banget, bisa yang siang teriknya minta ampun, terus sorenya hujan angin. Tapi
hari itu parah, sungguh sangat amat luar biasa parah. Pagi sampai siang hari
gak ada tanda-tanda bakal turun hujan, langit kosong dari awan, sinar matahari
menyengat hingga sore tiba. Perlahan awan abu-abu menutupi langit biru, turun
hujan yang entah kenapa bisa keras banget—bukan hujan kecil atau deras—gue
meyakinkan diri untuk tetap ke kontrakan teman gue, karena tugas gue ada
disana. Baru setengah perjalanan, angin dan rintik hujan makin banyak
jumlahnya, makin besar. Gue akhirnya berteduh di salah satu toko yang jual
oleh-oleh.
Bukan mereda, justru hujannya datang bersama angin, perlahan
makin kencang, dan toko itu terpaksa tutup sementara karena gak bisa lagi buat
jualan. Disela pintu toko yang masih sedikit terbuka, gue ngeliat ada
butiran-butiran es yang gak biasa, bukan es yang biasa dicampur sama teh manis,
atau yang biasa dijadiin es campur. Tapi butiran-butiran kecil gitu, hujan es. Pertama kali, gue ngeliat
butiran es kayak gitu, sebanyak itu. Singkat cerita hujannya masih gak kunjung
reda, mau naik angkot tapi gue gak bawa dompet. Akhirnya gue memilih Go-Jek karena
masih ada gopay. Sepatu, kaus kaki, baju, kerudung, semua gak luput dari
basahnya air hujan. Semua drama itu belum selesai, ada drama baru muncul
setelah gue udah sampai di kampus.
Karya gue harus dikumpulin di ruangan depan bengkel (jurusan
gue punya studio bengkel), wajib pake kop nama. Dan punya gue ketinggalan di
kos, terpaksa bikin ulang lagi. Setelah itu kartu ujian harus dikumpulin buat
di TTD, gue lupa cetak kartu dan kondisi sekitar Telkom lagi mati lampu jadi
gak bisa buat print. Setelah gue
ambil karya, temen-temen gue ngabarin kalo karya gue lupa dinilai.
Karya buat UTS, lupa dinilai dosen.
Gua masih gak paham kenapa, kayaknya Semesta lagi kejam
banget sama gue.
Setelah puas memendam amarah karena dosen, gue tetap lanjutin tugas bareng temen gue, yang
berhasil menenangkan amarah gue kali itu. Setelah negosiasi, karya gue yang
tadi luput dari matanya dosen akan dinilai besok hari, pagi jam 9. Pulang dari
situ, gue merebahkan diri di kasur. Sambil baca Ubur-ubur Lembur-nya Raditya
Dika, gue tertawa. Tapi kok, rasanya
hambar ya.
Kalian pernah tertawa, setelah itu tidak lagi merasakan
lucunya hal yang tadi kalian tertawakan?
Itu gue.
Gue mencoba mencari tau gue lagi kenapa, gue akhirnya coba
nonton drama Another Miss Oh, tetap gak membuat gue menemukan alasan itu.
Akhirnya gue coba buat tiduran, pikiran
gue kosong saat itu—hati gue juga. Rasanya gue sedih, tapi gak bisa nangis. Gue
coba untuk membenamkan diri dari balik selimut, dan mulai menangis.
Gue mulai ngerti kenapa tadi gue gak bisa nangis, segala
runtutan kejadian yang gue lalui hari itu ternyata cukup bikin gue jatuh—tapi
gue pura-pura gak terjadi apa-apa. Padahal harusnya gue cuma menerima dan lihat
sisi baiknya, tapi gue malah merenungi kesialan tanpa mensyukurinya.
Gue akhirnya menelepon salah satu teman gue, gak di angkat. Gue telfon teman gue yang
lain, gak di angkat juga. Ketiga kali
ini, kalo masih gak di angkat juga, gue memilih tidur. Ternyata di angkat,
teman gue ini langsung paham kenapa gue nelfon dia dengan suara parau. Kalo
lagi ada masalah, atau butuh tempat buat curhat. Dia langsung melontarkan
pertanyaan, “kenapa?” dengan nada merajuknya. Tapi gue bersikeras untuk gak mau
cerita, karena menurut gue itu bukan hal yang harus diceritain juga sih. Toh
dia juga udah tau, karena temen gue share
itu ke grup angkatan.
“lo kalo lagi sedih gimana? Harus langsung cerita? Enggak, kan? Sama, gue lagi gak mau cerita. Mau ngobrol aja.”
Kita ngobrol beberapa hal malam itu, gue yang udah kelamaan
gak denger cerita-cerita dia, akhirnya bisa denger lagi. Bisa ketawain dia
lagi, bisa memaki dia lagi. Dia cerita gimana bangganya dia bisa ngerjain semua
tugas di semester ini dengan kerjanya sendiri—sedikit bantuan orang lain—itu salah
satu jawaban yang mau gue dengar dari dia. Setelah sekian lama khawatir dia
sendirian, gue rasa dia gak gitu sekarang. Makin banyak orang yang peduli sama
dia, juga dia yang mulai membuka diri dengan yang peduli. Dia masih tetap si
tampan yang hobinya bikin baper cewek terus ditinggalin gitu aja. Yang berubah,
cuma kerja kerasnya dia aja.
“ada untungnya juga lo, beda kelas sama gue,” ujar gue. “ada
enggaknya juga sih,” jawabnya. Kita jadi
jarang ketemu, jarang main. Itu hal yang pengin gue sampaikan ke dia, tapi
gue mengalihkan ke hal lain yang lebih seru buat dibahas. Bukan waktunya untuk
sedih-sedihan, karena waktu itu gue udah cukup menyedihkan.
Percakapan itu berakhir pukul 12.
Gue menyadari kalau ternyata teman gue udah mulai menemukan
dirinya lagi, ternyata hanya gue yang khawatir, takut dia kenapa-kenapa tapi
dia gak bisa cerita. Gue menyadari kalau ternyata dengan jarak, lo bisa
menemukan diri lo seperti apa. Gue menyadari kalau ternyata, gue akan tetap
merindukan dia yang dulu—yang seringkali membutuhkan gue—tapi tetap bangga
dengan keadaan dia yang sekarang. Gue hanya perlu mendukungnya, dan bilang
kalau semua akan baik-baik saja. Gue menyadari bahwa—kata Pandji Pragiwaksono
di bukunya yang berjudul “Merdeka Dalam Bercanda”—terkadang kita butuh ketawa,
untuk tidak terus-menerus menangis.
Percakapan ini berakhir pukul 12.
No comments: