percakapan ini berakhir pukul 12

March 12, 2018
dok. pribadi

Hari itu bisa jadi hari tersial gue selama bulan ini—mungkin juga tahun ini.

Bandung cuacanya lagi random banget, bisa yang siang teriknya minta ampun, terus sorenya hujan angin. Tapi hari itu parah, sungguh sangat amat luar biasa parah. Pagi sampai siang hari gak ada tanda-tanda bakal turun hujan, langit kosong dari awan, sinar matahari menyengat hingga sore tiba. Perlahan awan abu-abu menutupi langit biru, turun hujan yang entah kenapa bisa keras banget—bukan hujan kecil atau deras—gue meyakinkan diri untuk tetap ke kontrakan teman gue, karena tugas gue ada disana. Baru setengah perjalanan, angin dan rintik hujan makin banyak jumlahnya, makin besar. Gue akhirnya berteduh di salah satu toko yang jual oleh-oleh.

Bukan mereda, justru hujannya datang bersama angin, perlahan makin kencang, dan toko itu terpaksa tutup sementara karena gak bisa lagi buat jualan. Disela pintu toko yang masih sedikit terbuka, gue ngeliat ada butiran-butiran es yang gak biasa, bukan es yang biasa dicampur sama teh manis, atau yang biasa dijadiin es campur. Tapi butiran-butiran kecil gitu, hujan es. Pertama kali, gue ngeliat butiran es kayak gitu, sebanyak itu. Singkat cerita hujannya masih gak kunjung reda, mau naik angkot tapi gue gak bawa dompet. Akhirnya gue memilih Go-Jek karena masih ada gopay. Sepatu, kaus kaki, baju, kerudung, semua gak luput dari basahnya air hujan. Semua drama itu belum selesai, ada drama baru muncul setelah gue udah sampai di kampus.

Karya gue harus dikumpulin di ruangan depan bengkel (jurusan gue punya studio bengkel), wajib pake kop nama. Dan punya gue ketinggalan di kos, terpaksa bikin ulang lagi. Setelah itu kartu ujian harus dikumpulin buat di TTD, gue lupa cetak kartu dan kondisi sekitar Telkom lagi mati lampu jadi gak bisa buat print. Setelah gue ambil karya, temen-temen gue ngabarin kalo karya gue lupa dinilai.

Karya buat UTS, lupa dinilai dosen.
Gua masih gak paham kenapa, kayaknya Semesta lagi kejam banget sama gue.

Setelah puas memendam amarah karena dosen, gue tetap lanjutin tugas bareng temen gue, yang berhasil menenangkan amarah gue kali itu. Setelah negosiasi, karya gue yang tadi luput dari matanya dosen akan dinilai besok hari, pagi jam 9. Pulang dari situ, gue merebahkan diri di kasur. Sambil baca Ubur-ubur Lembur-nya Raditya Dika, gue tertawa. Tapi kok, rasanya hambar ya.

Kalian pernah tertawa, setelah itu tidak lagi merasakan lucunya hal yang tadi kalian tertawakan?
Itu gue.

Gue mencoba mencari tau gue lagi kenapa, gue akhirnya coba nonton drama Another Miss Oh, tetap gak membuat gue menemukan alasan itu. Akhirnya gue coba buat tiduran, pikiran gue kosong saat itu—hati gue juga. Rasanya gue sedih, tapi gak bisa nangis. Gue coba untuk membenamkan diri dari balik selimut, dan mulai menangis.

Gue mulai ngerti kenapa tadi gue gak bisa nangis, segala runtutan kejadian yang gue lalui hari itu ternyata cukup bikin gue jatuh—tapi gue pura-pura gak terjadi apa-apa. Padahal harusnya gue cuma menerima dan lihat sisi baiknya, tapi gue malah merenungi kesialan tanpa mensyukurinya.

Gue akhirnya menelepon salah satu teman gue, gak di angkat. Gue telfon teman gue yang lain, gak di angkat juga. Ketiga kali ini, kalo masih gak di angkat juga, gue memilih tidur. Ternyata di angkat, teman gue ini langsung paham kenapa gue nelfon dia dengan suara parau. Kalo lagi ada masalah, atau butuh tempat buat curhat. Dia langsung melontarkan pertanyaan, “kenapa?” dengan nada merajuknya. Tapi gue bersikeras untuk gak mau cerita, karena menurut gue itu bukan hal yang harus diceritain juga sih. Toh dia juga udah tau, karena temen gue share itu ke grup angkatan.

“lo kalo lagi sedih gimana? Harus langsung cerita? Enggak, kan? Sama, gue lagi gak mau cerita. Mau ngobrol aja.”

Kita ngobrol beberapa hal malam itu, gue yang udah kelamaan gak denger cerita-cerita dia, akhirnya bisa denger lagi. Bisa ketawain dia lagi, bisa memaki dia lagi. Dia cerita gimana bangganya dia bisa ngerjain semua tugas di semester ini dengan kerjanya sendiri—sedikit bantuan orang lain—itu salah satu jawaban yang mau gue dengar dari dia. Setelah sekian lama khawatir dia sendirian, gue rasa dia gak gitu sekarang. Makin banyak orang yang peduli sama dia, juga dia yang mulai membuka diri dengan yang peduli. Dia masih tetap si tampan yang hobinya bikin baper cewek terus ditinggalin gitu aja. Yang berubah, cuma kerja kerasnya dia aja.

“ada untungnya juga lo, beda kelas sama gue,” ujar gue. “ada enggaknya juga sih,” jawabnya. Kita jadi jarang ketemu, jarang main. Itu hal yang pengin gue sampaikan ke dia, tapi gue mengalihkan ke hal lain yang lebih seru buat dibahas. Bukan waktunya untuk sedih-sedihan, karena waktu itu gue udah cukup menyedihkan.

Percakapan itu berakhir pukul 12.

Gue menyadari kalau ternyata teman gue udah mulai menemukan dirinya lagi, ternyata hanya gue yang khawatir, takut dia kenapa-kenapa tapi dia gak bisa cerita. Gue menyadari kalau ternyata dengan jarak, lo bisa menemukan diri lo seperti apa. Gue menyadari kalau ternyata, gue akan tetap merindukan dia yang dulu—yang seringkali membutuhkan gue—tapi tetap bangga dengan keadaan dia yang sekarang. Gue hanya perlu mendukungnya, dan bilang kalau semua akan baik-baik saja. Gue menyadari bahwa—kata Pandji Pragiwaksono di bukunya yang berjudul “Merdeka Dalam Bercanda”—terkadang kita butuh ketawa, untuk tidak terus-menerus menangis.

Percakapan ini berakhir pukul 12.

No comments:

Powered by Blogger.