Hari Tanpa Rencana

February 23, 2018

Beberapa orang disekitar gue tau, gue sangat suka mengurutkan berbagai rencana yang akan gue lakukan untuk hari ini, besok, bahkan 5 tahun lagi—kejauhan, setahun kedepan maksud gue. Nyatanya, bukan cuma gue sebenernya yang sering begini, kakak gue juga suka melakukan hal serupa. Tapi gue malah ketawa liat rencana-rencana dia yang super detail—gue merasa dia seperti Tuhan di hidupnya, yang punya akses sebegitu detailnya untuk membuat semuanya menjadi kenyataan. Pernah gue membuat #100Wishes, tanpa pernah gue berusaha untuk menyelesaikan itu semua secara perlahan, tulis kemauan gue saat itu tanpa pernah tau kalo mungkin aja minggu depan gue gak menginginkan itu dan gak ada impact-nya ke gue. Gue membiarkan waktu dan hidup ini penuh dengan tumpukan rencana-rencana yang gue terus buat setiap hari, biar hari-hari gue gak keos karena bentrok kegiatan. Meninggalkan #100wishes yang gue buat terlupakan percuma.

Gue sesekali bersihin laci kamar kos gue, menemukan buku catatan yang isinya cuma surat-surat gak akan gue kasih ke orang-orang yang tertuju di surat itu (hehe cupu emang), dan #100wishes gue yang gue revisi sampe tiga kali. Tetep aja, semua berakhir dengan gue yang melupakan keinginan-keinginan gue itu. Dulu, pas pertama kali bikin #100wishes karena doktrin salah satu guru gue pas SMP. Waktu itu lagi ada keputrian—biasanya yang cowok pada sholat jumat, kita yang cewek dikumpulin perangkatan dan penyuluhan rohani gitu yang namanya keputrian—gue menyimak materi yang dikasih sama guru gue.

Beliau ngejelasin bahwa dream board itu sangat penting untuk menstimulasi otak biar ‘ngegiring’ diri kita untuk menggapai mimpi-mimpi kita, gue sempet liat videonya Arief Muhammad yang pernah punya pengalaman mengenai dream board ini—dan berhasil—ada salah satu video (gue lupa sumbernya siapa), yang membuat #100wishes dan terus bershalawat—juga berusaha—untuk menggapai mimpinya. Menarik, dan gue sangat tertarik karena itu semua cerita nyata. Gue yang dulu anaknya super ambis dan punya masa depan cerah (kayaknya), ikutan mencoba.

Revisi #100wishes gue berakhir dengan ‘mimpi apa yang akan lu jalani selama 5-10 tahun kedepan, Nad?’ setiap gue ingin menulis poin di #100wishes gue, mungkin pada akhirnya kita akan punya mimpi dibalik realita yang mengenaskan. Supaya kita bisa terus hidup karena masih ada harapan untuk itu.

Gue ngomong apa sih.

Yang jelas, beberapa tahun terakhir kegiatan nulis rencana setiap hari udah makin candu. Gue makin tergila-gila dan akan menggila kalo satu hari gue gak ada rencana yang pasti—even itu cuma angkat jemuran, atau cuci piring. Tapi pada hari itu, adalah hari dimana gak ada satupun rencana gue yang berhasil.

Gue kecewa. Sangat. Karena rencana-rencana yang gue buat itu sangat penting dan bukan ecek-ecek, tapi gue gak bisa nyelesainnya. Satupun.

Kondisi gue makin capek, otak gue mulai keluarin hormon norepinephrine, gue mulai nangis. Dan itu semakin menjadi-jadi karena gue mulai mempersilahkan hormon adrenaline dan kortisol semakin menguasai gue. Kenangan-kenangan buruk, segala kesialan dan pencapaian gue yang gagal terjadi justru makin memperparah kondisi gue saat itu. Gue sangat amat jatuh.

dok. pribadi
Tangis gue makin menjadi dan gue makin gak peduli kalo ada orang yang denger tangisan meraung-raung kayak gini. Gue akhirnya menghubungi salah satu temen gue, beruntung dia mau dengerin cerita gue. Walaupun gak sepenuhnya reda, tangisan gue waktu itu cukup bikin gue mikir, mungkin lo terlalu banyak berharap untuk segera menyelesaikan rencana-rencana lo. Tanpa pernah mencoba untuk menikmatinya.

Gue cerita ini bukan berarti buat planner itu adalah suatu kesalahan, yang bisa bikin lo berasa dikejar deadline dan malah terpontang-panting menyelesaikannya. Gue buat planner karena gue tau kemampuan gue untuk inget sesuatu itu cukup lemah, jadi ini sebagai pengingat juga kalo hari ini-itu gue punya beberapa kegiatan. Atau kadang, gue suka ga nulis planner dan memfokuskan diri sama satu hal. Untuk mengistirahatkan diri aja, capek kan dikejar deadline terus?

Besoknya, gue ada kelas. Beruntung kelas itu sore, jadi temen-temen gue gak perlu tau seberapa bengkak mata ini nangis semaleman. Dan hari itu, gue tenang banget karena mencoba untuk menikmati hari itu dengan baik. Gue tetep bikin daily planner—namanya juga otak batu—tapi kali ini, gue percaya sama keterbatasan diri gue dan gak mencoba untuk terlalu keras dengan diri sendiri. Pada akhirnya, gak penting seberapa banyak lo menyelesaikan poin-poin yang lo buat, yang penting adalah menikmati proses untuk menyelesaikannya.

No comments:

Powered by Blogger.