selamat datang, tahun baru

December 11, 2017

Perayaan gue tentang tahun baru bukan cuma tahun baru Islam, bukan juga tahun baru setiap tanggal 1 Januari. Lebih dari itu, tahun baru versi gue adalah setiap tanggal 3 Desember. Tepat hari Senin siang di RS IAIN Jakarta ( sekarang RS UIN Syarif Hidayatullah ), tahun genting-gentingnya pergantian Masa Orde Baru, seorang anak bernama Nadhira Saffana lahir dari rahim ibunya (dan untung aja) sambil nangis.

Ya, hari itu udah dipilih Semesta sebagai Hari Jadi Nadhira Saffana.

Ditahun yang sudah lewat dari ‘masa legal’ aka 17 tahun. Selama setahun itu gue banyak banget meninggalkan kisah dan belajar dari berbagai kisah, juga membuat kisah sendiri. Tentunya versi gue jauh lebih menarik karena versi setiap orang berbeda, hehehe. Kalo yang orang bilang A, gue akan jauh menelisik sampe ke Z, that’s who I am. Tapi justru cara gue sendiri yang bikin gue sangat menikmati proses selama setahun ini, disamping orang-orang beranggapan gue si baper, si pemikir, si penganalisa. Tapi ya emang bener gitu adanya. Jatuh bangun, patah hati, berbagi tawa, depresi bersama, pemikiran negatif, tangis bahagia, terharu rame-rame. Dan banyak lagi, banyak lagi cerita yang gak bisa gue runtutin semuanya disini selama setahun belakangan. Yang bikin gue jadi manusia baru, belajar dari hal baru. Setiap harinya.

Tahun ke 17 itu, jadi tahun paling nano-nano buat gue pribadi. Awal tahun gue dijalani dengan perpisahan pilu dari pasangan kesayangan gue, yang menurut gue gak perlu diceritain lebih detail karena sampe sekarang I’m strunggling with the trauma. Kejadian itu bikin gue jadi manusia baru yang cukup gegabah, terlalu cepat mengambil keputusan karena berusaha mengalihkan diri dari hal-hal traumatik. Ikut organisasi A dan B tanpa tau dampaknya seperti apa, pergi kemana-mana gak mau sendirian, there’s no me-time karena bisa bikin gue nangis sesegukan, sering ketawa sama hal-hal gak penting, intinya gue berusaha menipu diri sendiri untuk bahagia. Waktu itu, cara untuk bahagia adalah memaksa diri untuk tertawa. Tanpa gue sadari, seharusnya gue menikmati proses patah hati dulu.
 
Banyak teman datang silih berganti, ada yang memilih untuk pergi atau justru gue yang terpaksa meninggalkan. Alasannya pun beragam, ada yang emang gak nyaman, atau berusaha nyaman tapi gak bisa dipaksain lagi. Kembali kehilangan, trauma itu muncul aja tiba-tiba. Tapi makin kesini gue makin paham, meninggalkan dan ditinggalkan adalah salah satu cara untuk menghargai pertemuan dan kedatangan orang baru di hidup kita. Walaupun kadang ga sesuai ekspetasi, we still learn on it. Kehidupan berputar, pertemanan jadi salah satu celah di antaranya.

Dimana ada yang pergi, disitu ada yang bertahan. Kadang, masa-masa genting gue atau situasi dilingkungan gue, memaksa untuk mengenal lebih jauh seperti apa sih temen yang bisa cocok di segala kondisi dan situasi. Kali ini, gue semakin mengenal mereka. Yang dulunya baik-baik aja, bisa jadi berantem cuma karena lupa punya q-time. Yang dulunya gak deket, akhirnya bisa saling terbuka buat bertukar cerita dan pandangan. Yang dulunya deket, sekarang jadi jauh.

Keluar dari zona nyaman, gue menemukan sisi diri gue yang lain. Kali ini mengejutkan rupanya. Gue bisa kenal banyak orang dan gak canggung lagi. Mulai berbaur sama temen-temen sejurusan gue, kenal banyak sama orang luar jurusan. Di organisasi A, divisi yang gue ambil sangat timpang. Yang gue kira gue mampu belajar banyak disana sampe garis akhir, gue terpaksa menyerah bahkan di jalan yang tinggal dikit lagi. Semua kecewa sama gue? jelas. Gue mengundurkan diri disaat posisi penting dan meninggalkan semua orang karena gue gak bisa kerja sendiri dan gak tau bagaimana lagi cara gue untuk menyelesaikannya.

Disini, posisi temen gue kembali mengingatkan. “kok lo jadi orang yang gampang nyerah gitu sekarang?”

Manusia baru itu kena lagi dampaknya. Menyerah, dan mengecewakan banyak orang. Usut punya usut, tahun ini acara itu off. Menyalahkan diri sendiri awalnya, tapi gue belajar untuk merelakan. Pasti ada orang-orang yang mengecewakan, untuk dijadiin pelajaran sama orang lain—kali ini gue orangnya.

Masuk ke organisasi B, orangnya semakin beragam. Jauh berbeda sama orang-orang yang gue biasa temui disini. Semakin seru rupanya, semakin hectic juga jadwal hidup gue untuk belajar. Belajar ngerti kalo setiap orang itu beda dan semakin berusaha menghargai perbedaan. Belajar untuk menyadari kalo kita gak bisa handle semua aspek kehidupan biar sama rata. Salah satunya pasti ada yang kurang—kita kan bukan Tuhan. Belajar untuk lebih sabar menanggapi tingkah laku orang. Belajar untuk lebih simpatik, lebih peduli karena terikat itu bukan paksaan. Tapi proses.

Disini, posisi temen gue kembali mengingatkan. “kita jadi jauh banget ya sekarang.”

Sakit? Iya. Tapi nyatanya emang harus gitu. Ketika lo sibuk dan asik di lingkup pertemanan yang lain, secara gak sadar lo ga punya waktu banyak buat main di lingkup pertemanan lainnya. Kalo menurut gue itu namanya siklus, sayangnya emang lagi-lagi—ada aja yang kecewa.

Kutipan ‘kerja keras gak akan mengkhianati hasil’ gue rasain banget tahun ini; berdarah-darah dahulu, bersenang-senang kemudian. Gak cuma di organisasi aja gue harus berdarah-darah, mempertahankan teman, tugas numpuk, ngobrol sama keluarga ibarat ngobrol sama virtual chat; bahasannya gitu-gitu aja. Semua itu ibarat benang kain merah yang kusut terus ketumpahan darah. Benangnya kusut, basah pula. Susah diselesainnya. Tapi kembali belajar masalah terikat, kalo bersama itu jauh lebih mungkin ketimbang sendirian.

Menentukan pilihan bikin gue semakin bersyukur lagi setiap harinya. Banyak hal yang memaksa gue untuk menentukan pilihan itu seorang diri. Mendengar cerita orang dan menganalisa dengan kondisi pribadi; lalu mengambil keputusan. Prosesnya panjang, tapi nyatanya pilihan yang gue pilih suka ga sesuai ekspetasi. Disini semakin belajar, hasil itu yang nentuin tetep Allah. Kita cuma wajib bersyukur.

Urusan hati jadi salah satu hal yang bikin keadaan semakin chaos. Berbekal trauma cukup dalam, gue sibuk menutup hati rapat-rapat, just in-case gue tiba-tiba kena serangan fajar, dan mendadak meruntuhkan apa yang selama ini gue tutup. Dan gue lupa kalo setiap cerita cinta itu berbeda, yang lo liat hancur belum tentu akan berlaku sama halnya ke lo. Akhirnya, gue mulai membuka lagi. Tapi kali ini, gue jauh lebih ikhlas karena percaya kalo pada akhirnya Semesta dan waktu itu gak pernah jadi penipu ulung. Pas gue akan dipertemukan dengan orang baik, bersama orang baik. Pasti. Semesta udah berkata demikian soalnya.
 
Kali ini gue kembali berelasi lagi sama dia yang pernah masuk dalam hidup gue selama kurang lebih 2 bulan. Mr. you-know-who yang gue selalu sebut di setiap sajak dan prosa menye-menye gue dulu, yang selalu jadi the man behind every sad songs. Good news, no more feeling on it. Sangat amat bersyukur karena entah kenapa waktu dan kita bisa dipertemukan saat gue bener-bener sembuh dari perpatah-hatian bersama dia. Nyatanya, kita suka sesekali ngobrol via free call atau chat cuma bahas hal yang bahkan kadang ga penting-penting amat, tapi kita emang ga pernah sampe bahas masa lalu. Kita cuma meninggalkannya ditempat yang seharusnya, sesekali nengok buat mastiin kalo kenangan itu emang tempatnya disitu. Gak bisa dibawa lagi ke masa sekarang—atau bahkan masa depan.

Ada banyak lagi hal yang gue pelajarin dan dapet hasilnya dari tahun ke 17 itu. Ada banyak banget perubahan yang gak sadar udah terjadi selama setahun ini, mulai dari fisik, pikiran, mental, selera musik, jenis makanan, pola pertemanan, dsb. Kaget? Iya. Nyatanya, kado fisik yang gue dapet jauh lebih dikit dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi pengalaman tahun ini jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Kutipan ‘pengalaman adalah guru terbaik’, harus gue ganti. Pengalaman adalah kado terbaik.

Terima kasih, 17.

Selamat datang, 18. Seru-seruan lagi, ya.

No comments:

Powered by Blogger.