selamat datang, tahun baru
Perayaan
gue tentang tahun baru bukan cuma tahun baru Islam, bukan juga tahun baru
setiap tanggal 1 Januari. Lebih dari itu, tahun baru versi gue adalah setiap
tanggal 3 Desember. Tepat hari Senin siang di RS IAIN Jakarta ( sekarang RS UIN
Syarif Hidayatullah ), tahun genting-gentingnya pergantian Masa Orde Baru, seorang
anak bernama Nadhira Saffana lahir dari rahim ibunya (dan untung aja) sambil
nangis.
Ya,
hari itu udah dipilih Semesta sebagai Hari Jadi Nadhira Saffana.
Ditahun
yang sudah lewat dari ‘masa legal’ aka 17 tahun. Selama setahun itu gue banyak
banget meninggalkan kisah dan belajar dari berbagai kisah, juga membuat kisah
sendiri. Tentunya versi gue jauh lebih menarik karena versi setiap orang
berbeda, hehehe. Kalo yang orang bilang A, gue akan jauh menelisik sampe ke Z, that’s who I am. Tapi justru cara gue
sendiri yang bikin gue sangat menikmati proses selama setahun ini, disamping
orang-orang beranggapan gue si baper, si pemikir, si penganalisa. Tapi ya emang
bener gitu adanya. Jatuh bangun, patah hati, berbagi tawa, depresi bersama,
pemikiran negatif, tangis bahagia, terharu rame-rame. Dan banyak lagi, banyak
lagi cerita yang gak bisa gue runtutin semuanya disini selama setahun
belakangan. Yang bikin gue jadi manusia baru, belajar dari hal baru. Setiap
harinya.
Tahun
ke 17 itu, jadi tahun paling nano-nano buat gue pribadi. Awal tahun gue
dijalani dengan perpisahan pilu dari pasangan kesayangan gue, yang menurut gue
gak perlu diceritain lebih detail karena sampe sekarang I’m strunggling with the trauma. Kejadian itu bikin gue jadi
manusia baru yang cukup gegabah, terlalu cepat mengambil keputusan karena
berusaha mengalihkan diri dari hal-hal traumatik. Ikut organisasi A dan B tanpa
tau dampaknya seperti apa, pergi kemana-mana gak mau sendirian, there’s no me-time karena bisa bikin gue
nangis sesegukan, sering ketawa sama hal-hal gak penting, intinya gue berusaha
menipu diri sendiri untuk bahagia. Waktu itu, cara untuk bahagia adalah memaksa
diri untuk tertawa. Tanpa gue sadari, seharusnya gue menikmati proses patah
hati dulu.
Banyak
teman datang silih berganti, ada yang memilih untuk pergi atau justru gue yang
terpaksa meninggalkan. Alasannya pun beragam, ada yang emang gak nyaman, atau
berusaha nyaman tapi gak bisa dipaksain lagi. Kembali kehilangan, trauma itu
muncul aja tiba-tiba. Tapi makin kesini gue makin paham, meninggalkan dan
ditinggalkan adalah salah satu cara untuk menghargai pertemuan dan kedatangan
orang baru di hidup kita. Walaupun kadang ga sesuai ekspetasi, we still learn on it. Kehidupan
berputar, pertemanan jadi salah satu celah di antaranya.
Dimana
ada yang pergi, disitu ada yang bertahan. Kadang, masa-masa genting gue atau
situasi dilingkungan gue, memaksa untuk mengenal lebih jauh seperti apa sih
temen yang bisa cocok di segala kondisi dan situasi. Kali ini, gue semakin
mengenal mereka. Yang dulunya baik-baik aja, bisa jadi berantem cuma karena lupa
punya q-time. Yang dulunya gak deket,
akhirnya bisa saling terbuka buat bertukar cerita dan pandangan. Yang dulunya
deket, sekarang jadi jauh.
Keluar
dari zona nyaman, gue menemukan sisi diri gue yang lain. Kali ini mengejutkan
rupanya. Gue bisa kenal banyak orang dan gak canggung lagi. Mulai berbaur sama
temen-temen sejurusan gue, kenal banyak sama orang luar jurusan. Di organisasi
A, divisi yang gue ambil sangat timpang. Yang gue kira gue mampu belajar banyak
disana sampe garis akhir, gue terpaksa menyerah bahkan di jalan yang tinggal
dikit lagi. Semua kecewa sama gue? jelas. Gue mengundurkan diri disaat posisi
penting dan meninggalkan semua orang karena gue gak bisa kerja sendiri dan gak
tau bagaimana lagi cara gue untuk menyelesaikannya.
Disini,
posisi temen gue kembali mengingatkan. “kok lo jadi orang yang gampang nyerah
gitu sekarang?”
Manusia
baru itu kena lagi dampaknya. Menyerah, dan mengecewakan banyak orang. Usut
punya usut, tahun ini acara itu off. Menyalahkan diri sendiri awalnya, tapi gue
belajar untuk merelakan. Pasti ada orang-orang yang mengecewakan, untuk
dijadiin pelajaran sama orang lain—kali ini gue orangnya.
Masuk
ke organisasi B, orangnya semakin beragam. Jauh berbeda sama orang-orang yang
gue biasa temui disini. Semakin seru rupanya, semakin hectic juga jadwal hidup gue untuk belajar. Belajar ngerti kalo
setiap orang itu beda dan semakin berusaha menghargai perbedaan. Belajar untuk
menyadari kalo kita gak bisa handle
semua aspek kehidupan biar sama rata. Salah satunya pasti ada yang kurang—kita
kan bukan Tuhan. Belajar untuk lebih sabar menanggapi tingkah laku orang.
Belajar untuk lebih simpatik, lebih peduli karena terikat itu bukan paksaan.
Tapi proses.
Disini,
posisi temen gue kembali mengingatkan. “kita jadi jauh banget ya sekarang.”
Sakit?
Iya. Tapi nyatanya emang harus gitu. Ketika lo sibuk dan asik di lingkup
pertemanan yang lain, secara gak sadar lo ga punya waktu banyak buat main di
lingkup pertemanan lainnya. Kalo menurut gue itu namanya siklus, sayangnya
emang lagi-lagi—ada aja yang kecewa.
Kutipan
‘kerja keras gak akan mengkhianati hasil’ gue rasain banget tahun ini;
berdarah-darah dahulu, bersenang-senang kemudian. Gak cuma di organisasi aja
gue harus berdarah-darah, mempertahankan teman, tugas numpuk, ngobrol sama
keluarga ibarat ngobrol sama virtual chat;
bahasannya gitu-gitu aja. Semua itu ibarat benang kain merah yang kusut terus
ketumpahan darah. Benangnya kusut, basah pula. Susah diselesainnya. Tapi
kembali belajar masalah terikat, kalo bersama itu jauh lebih mungkin ketimbang
sendirian.
Menentukan
pilihan bikin gue semakin bersyukur lagi setiap harinya. Banyak hal yang
memaksa gue untuk menentukan pilihan itu seorang diri. Mendengar cerita orang
dan menganalisa dengan kondisi pribadi; lalu mengambil keputusan. Prosesnya
panjang, tapi nyatanya pilihan yang gue pilih suka ga sesuai ekspetasi. Disini
semakin belajar, hasil itu yang nentuin tetep Allah. Kita cuma wajib bersyukur.
Urusan
hati jadi salah satu hal yang bikin keadaan semakin chaos. Berbekal trauma cukup dalam, gue sibuk menutup hati
rapat-rapat, just in-case gue
tiba-tiba kena serangan fajar, dan mendadak meruntuhkan apa yang selama ini gue
tutup. Dan gue lupa kalo setiap cerita cinta itu berbeda, yang lo liat hancur
belum tentu akan berlaku sama halnya ke lo. Akhirnya, gue mulai membuka lagi.
Tapi kali ini, gue jauh lebih ikhlas karena percaya kalo pada akhirnya Semesta
dan waktu itu gak pernah jadi penipu ulung. Pas gue akan dipertemukan dengan
orang baik, bersama orang baik. Pasti. Semesta udah berkata demikian soalnya.
Kali
ini gue kembali berelasi lagi sama dia yang pernah masuk dalam hidup gue selama
kurang lebih 2 bulan. Mr. you-know-who
yang gue selalu sebut di setiap sajak dan prosa menye-menye gue dulu, yang
selalu jadi the man behind every sad
songs. Good news, no more feeling on it. Sangat amat
bersyukur karena entah kenapa waktu dan kita bisa dipertemukan saat gue
bener-bener sembuh dari perpatah-hatian bersama dia. Nyatanya, kita suka
sesekali ngobrol via free call atau chat cuma bahas hal yang bahkan kadang
ga penting-penting amat, tapi kita emang ga pernah sampe bahas masa lalu. Kita
cuma meninggalkannya ditempat yang seharusnya, sesekali nengok buat mastiin
kalo kenangan itu emang tempatnya disitu. Gak bisa dibawa lagi ke masa
sekarang—atau bahkan masa depan.
Ada banyak
lagi hal yang gue pelajarin dan dapet hasilnya dari tahun ke 17 itu. Ada banyak
banget perubahan yang gak sadar udah terjadi selama setahun ini, mulai dari
fisik, pikiran, mental, selera musik, jenis makanan, pola pertemanan, dsb. Kaget?
Iya. Nyatanya, kado fisik yang gue dapet jauh lebih dikit dari tahun-tahun
sebelumnya. Tapi pengalaman tahun ini jauh lebih banyak dari tahun-tahun
sebelumnya.
Kutipan
‘pengalaman adalah guru terbaik’, harus gue ganti. Pengalaman adalah kado terbaik.
Terima
kasih, 17.
Selamat
datang, 18. Seru-seruan lagi, ya.


No comments: