terkubur tapi ditemukan
Seorang teman nyokap akhirnya menghubungi gue via telfon,
namanya Om Tiar. Gue sebegitu kangen dan bahagianya pas dikasih tau nyokap kalo
dia akan menelepon gue, sembari harap-harap bahagia, gue kembali melanjutkan
kegiatan.
Smartphone gue berdering, yes Om Tiar! Bincang-bincang ini lama sekali, sejam mungkin?
Banyak yang ingin kita bagi—cerita, rindu, tangis, tawa. Entah kenapa ada bulir
air yang menetes dengan lancar disudut mata—serindu inikah? Gue terus berusaha
tertawa setiap kali Om Tiar mengeluarkan lelucon garingnya, atau rencana yang
akan kita lakukan kalo gue balik lagi ke Makassar. Gue kangen banget, om.
Beneran.
Hari itu gue pernah jadi makhluk kecil paling bahagia. Pas
dia dateng ke Jakarta dan memperkenalkan gue pada olahraga hockey, gue seneng
banget! Karena kedua orang tua gue gak pernah nunjukkin hal kayak gini. Setiap
minggu gue semangat dianterin dia ke Istora Senayan buat latihan. Makin lama gue makin paham main hockey, dan dia janjiin satu hal hari itu: memberikan gue tongkat hockey pas dia
tanding di Inggris. Gila!
Tas besar berisi tongkat-tongkat hockey itu datang ke rumah
dengan selamat, persis beberapa hari setelah kepulangan dia ke Makassar yang gue
temani dengan air mata. Hari itu gue sakit hati banget harus pisah sama dia,
dia jadi orang terhebat karena bisa jadi temen, bapak, saudara, om, kakak paling seru
yang pernah gue kenal. Entah kenapa pas hari kepulangannya gue tertidur cukup lama, dan tersontak bangun
menyadari kalo Om Tiar udah berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta.
Mirip kisah Cinta-Rangga ya kalo diliat-liat, bedanya gue
gak bisa nyamperin Om Tiar ke Bandara. Gue cuma bisa nelfon nyokap sambil
marah-marah, terus pas dia kasih telfonnya ke Om Tiar. Gue nangis. “hati-hati
ya, om.” Dan gue sesegukan sendirian diruang tamu. Lama gak bersua, gue tetep
latihan hockey. Entah sampe suatu ketika—mungkin ketika ekonomi keluarga gue
memburuk—nyokap gue melarang gue untuk latihan hockey sama sekali. Sampe
sekarang. Mungkin kalo gue ada waktu, gue pengen bisa latihan hockey lagi. Gak
perlu ice hockey, lagian gue gak bisa main ice skating.
Tongkat hockey itu udah ada di Makassar, ngikut nyokap pas
pindahan barang dari rumah yang dulu. Kalo Om Tiar tau, mungkin dia akan ngomel
karena gue gak latihan hockey lagi. Gue sempet sih nyari tau lapangan hockey di Bandung, tapi entah karena emang gak ada atau karena gue gak mau terlalu kangen jadi gue urungkan niat itu. Btw,
gue juga baru tau kalo dia dulu pelatih renang. Dan gue, sangat suka renang.
Pernah gak sih kalian ketemu sama orang yang ternyata punya
kesamaan entah itu mimpi kalian, impian kalian di suatu tempat, suatu kejadian,
suatu waktu—dan kalian ngerasa; “gila kenapa bisa pas gini?!”.
Gue pernah. Entah kejadian keberapa kalinya gue ketemu orang
yang justru punya jauh lebih banyak kesamaan dengan gue—yang dulu, sebelum gue
pendem mimpi itu jauh-jauh.
He is everyone’s moodbooster. Dia orang yang paling bisa
bikin suasana jadi lebih hidup, seseorang yang kalo tanpa dia mungkin akan
terasa janggal. Seseorang yang katanya ingin menjauh dari dunia karena lelah
akan hiruk-pikuknya, tanpa mengetahui ada banyak yang mencintainya. Dia
seseorang yang punya batas hiperbola diluar kemampuan gue, dia yang punya
energi lebih banyak untuk ngegosip, tertawa, dan bahagia—lebih daripada gue.
He is himself, dia suka sesuatu yang bersifat sederhana tapi
justru menurut gue adalah sebuah kemewahan. Hidup impiannya adalah tinggal di
luar negeri—anggap saja bagian Eropa sana—menyeruput kopi hangat setiap pagi, sepotong
sandwich mungkin akan lebih baik, mengenakan coat besar untuk menutupi badannya
yang kelewat jangkung, berjalan di pedestrian
menuju kantor dengan satu tas yang ia bawa dengan bahagia. Anggap saja hari itu
sedang salju, ia masuk ke kantor yang bergerak dibidang furniture design—he
loves it—melewati harinya dengan tenang walaupun kantor dan kondisi jalan
mungkin sedang hectic. Sepulang ia beraktifitas, kadang ada jadwalnya ia pergi
ke gym. Atau dia menutup hari dengan minum kopi sekali lagi di coffee shop yang
tenang dan sangat homey.
Itu hidup impiannya. Yang gue tangkap dari semua hal yang ia
ceritakan.
Diam-diam gue mengaminkan. Berharap suatu hari—pada hari
yang baik—ia bisa mewujudkannya. Dalam diam, gue juga berharap bisa membawa mimpi
gue dulu yang bahagia dan sejahtera itu terangkat ke permukaan—dan gue wujudkan
semampu yang gue bisa.
Sejujurnya, cerita hidup impian itu adalah sepenggal mimpi
gue, cuma realita bisa menguburnya dalam-dalam.

No comments: