Obrolan Semalam
Seringkali kita lupa bahwa ada yang lebih mahir dalam mengatur waktu.
Gue selalu suka ngobrol sama temen-temen, saat ini sisi ‘mengumpulkan energi’ versi gue bukan dengan berlama-lama di kamar kos sambil baca novel, dengerin lagu kenceng-kenceng, dan matiin hp untuk menghindari notifikasi chat—itu masih dilakukan kondisional—tapi dengan ngumpul tiap minggu untuk sekedar ngopi pagi meski orangnya itu-itu lagi.
Tapi itu menyenangkan, dalam kurun waktu seminggu pasti banyak hal yang terjadi dan ganggu di pikiran. Daripada makin sesak, mending dibagi aja gak sih? Kadang kan cuma butuh di dengerin aja, gak harus dikasih solusi berhubung ini bukan sesi konsultasi dengan psikolog.
Sama halnya dengan yang gue lakukan di Jakarta, bedanya banyak coffee shop disini yang engga buka pagi hari—dan mahal hahahaha. Jadi gue menyempatkan diri untuk ngopi di sore-malam Hari, gak sehat banget sih karena cukup ganggu waktu tidur gue. Tapi saking seringnya gue ngopi, kafein kayaknya udah ga begitu berpengaruh di badan gue untuk menahan rasa kantuk.
Hari itu, gue ketemu sama temen-temen yang bersedia gue ajak ke pameran kecil di bilangan Bintaro—bahkan tante gue yang notabene-nya udah hidup di Bintaro berpuluh-puluh tahun, baru tau galeri kecil ini. Sesampainya disana, gue berkesempatan untuk mendengarkan langsung penjelasan karya dari salah satu seniman yang mengisi pamerannya. Ditambah lagi kesenangannya dengan ketemu pemilik galerinya, seneng banget meski agak awkward sebelumnya.
Gue percaya kalo semua hal ada waktunya, apa ya mungkin sebutan kerennya: perfect timing.
Sama dengan kami yang dipertemukan dengan seniman dan pemilik galeri keren ini, hal ini juga berlaku saat gue ketemu mereka, di posisi kami yang baru menjajaki dunia kerja. Mengingat kembali masa kuliah saat semuanya bisa dirancang sedemikian rupa, dari mata kami para mahasiswi yang belum mencicipi sedikitpun gemerlap dan kelamnya dunia kerja. Masih innocent, ambisius, dan idealis.
Lalu semuanya diputarbalikkan.
Kami dipertemukan di waktu yang tepat, karena selama kuliah kami bahkan gak pernah nongkrong bareng bertiga kayak gini. Ada yang mendapat rezeki di Bandung, ada yang gak bisa lagi meninggalkan rumah, ada yang mendapat rezeki dengan bidang yang bukan keinginannya. Kami semua punya kegundahan yang berbeda, tapi punya satu garis merah yang penting—kekhawatiran antara mimpi dan realita. Kami punya ketakutan untuk bermimpi, tapi ingin bermimpi sekali lagi meski setipis urat nadi.
Kami mencoba percaya pada timing itu karena semua orang punya fase yang berbeda-beda.
Karena hanya kepercayaan itu yang bisa membuat kami sedikit lebih mau melangkah—setidaknya.
No comments: