"semoga sehat selalu."
Kai Space, Bandung
Kalimat itu sering gue dapatkan saat gue berulang tahun, tapi jauh daripada itu gue lebih sering berdoa ingin sakit.
Pasti beberapa diantara kalian ada menganggap gue gila, atau beberapa diantaranya juga ada yang menyetujui kalimat gue diatas. Iya, gak jarang gue berdoa ingin sakit. Gue jadi tertarik untuk membahas pemikiran ini karena di-trigger banyak hal. Salah satu yang berpengaruh ke mental gue yang capek ini adalah kerjaan.
Bisa jadi gue gila kerja, bisa jadi gue beneran gak bisa diem, tapi yang paling memungkinkan adalah karena sebenernya setelah gue sadari—gue gak bisa mengatur kapasitas diri.
Gue terlalu terpaku dengan ‘yaudah coba dulu aja’, atau di beberapa kesempatan yang hadir, gue bahkan menolak lebih dulu dan bukannya istirahat—malah nyari lagi kesempatan lain hahaha. Dari sekian banyak peluang yang (alhamdulillah) melewati dan mampir di hidup gue, ada banyak peluang yang bikin gue sedih karena berharap banyak bisa bekerja dan menyerap banyak informasi disana.
Sayangnya, emang gak jodoh aja.
Disatu sisi, gue seneng bisa kerja. Seneng melakukan banyak hal yang bermanfaat (obviously) dan bisa menghasilkan. Apakah ini berkah? Gak tau, karena gak jarang gue burn out sama kerjaan itu sendiri. Gue pengin sakit supaya gue bisa istirahat, bisa dengerin badan gue yang lebih sering meronta-ronta tapi gak gue gubris. Bisa perhatiin mental gue yang berteriak lebih nyaring daripada notifikasi kerjaan di hp. Karena ya itu tadi, gue gak tau kapasitas diri gue sampe mana. Gue gak tau batas gue sampai mana kalo gak sakit, brarti gue masih bisa gas terus.
Sifat gue yang gak enakan dengan orang lain juga mempengaruhi, yang ngebuat gue malah seenaknya sama diri sendiri.
Setelah gue menjabarkan alasan gue ingin sakit, apa gue masih menganggap sakit yang gue inginkan ini sebuah musibah? Gak tau. Yang ada dipikiran gue, kalo gue sakit, gue bisa istirahat. Dan istirahat adalah berkah buat gue.
Beberapa waktu yang lalu, gue sempet baca di salah satu postingan Instagram-nya Mas Adjie Santoso Putro. Dalam Tulisan Serial Belajar Sadar-nya, beliau menuturkan perihal ‘Yang kita kira musibah, apa benar musibah? Yang kita kira berkah, apa benar berkah?’
Di postingan tersebut, diceritakan seorang bapak yang mengalami beberapa kejadian di hidupnya. Respon orang sekitar terhadap kejadian yang menimpa bapak tersebut dikualifikasikan menjadi dua hal ‘musibah dan berkah’, tapi respon bapak tersebut justru berbeda. Beliau tidak tahu apakah yang sedang ia alami adalah musibah atau berkah.
Penekanan yang menarik dari Mas Adjie adalah belajar untuk menyadari ketidaktahuan, untuk bisa menjadikan hal tersebut sebagai tolak ukur dalam menakar respon setiap kejadian. Kita gak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, gak melulu terbuai dengan kesenangan, dan terlalu menyalahkan diri sendiri atas hal yang sudah terlewati.
Mungkin gue juga harus bisa belajar untuk menyadari ketidaktahuan, sepertinya itu akan berpengaruh untuk proses gue memahami respon mental dan fisik gue terhadap sesuatu. Supaya nantinya gue bisa menakar energi gue untuk bekerja—bertemu dgn orang banyak, keluarga, teman, dan diri sendiri. Jadi bisa lebih mengarahkan perspektif gue lebih jauh untuk melihat sesuatu (entah itu kerjaan, hubungan, lainnya) dari berbagai sisi.
Tulisan ini paling ngalur-ngidul, soalnya deadlinenya beneran bikin dead.
No comments: