sisi hujan
(dengerin lagunya Matter Halo – Melangkah Lagi, biar lebih
mantep)
Kalian pernah gak, terjebak dibawah hujan dan akhirnya neduh
ditempat terdekat. Sambil nunggu hujan reda, pikiran kalian melayang
kemana-mana. Ada yang mikir kapan ya
hujannya reda, duh gue masih harus
kesana nih malah ga bisa gara-gara hujan, dsb. Rata-rata sih merutuki hujan
ya, padahal kita tau hujan itu berkah.
Walaupun ga selalu indah.
Hari itu gue terjebak hujan di Bandung, lagi-lagi otak gue
melayang kemana-mana sambil menunggu hujan reda. Dibalik itu, gue tiba-tiba
mikir, di dunia ini sebenarnya punya dua
sisi. Sisi baik, sisi buruk. Semuanya punya arti masing-masing, yang baik
mendatangkan kebahagiaan, yang buruk mendatangkan rasa syukur karena pernah
bahagia. Ya, itu sih hasil pemikiran
absurd gue aja. Hujan reda, saatnya
pulang. Diperjalanan, otak gue masih belum istirahat ternyata. Masih ada
hal yang nyangkut untuk dibahas, kali ini gue mulai bagi ke temen-temen
gue—sepernasiban yang jauh di Jakarta.
Kenapa sih orang selalu mengelu-elukan keambisiusan dirinya
tentang passion yang ingin dia
jalani?
Gue pernah ada dititik gue sangat bersemangat menjalani
semua. Semua passion gue saat itu.
Menjadi penulis, rajin belajar, mengasah kemampuan gambar. Sebatas itu. Waktu
belum ketemu sama orang-orang ambisius lainnya. Beranjak SMA, gue semakin
memperkuat diri kalo gue bisa berada dijalan yang udah gue pilih. Memilih
jurusan IPA itu gak mudah, otak gue terlanjur susah buat hafalin semua
nama-nama aneh itu. Tapi gue punya rasa ingin tau yang besar, yang bisa
ngalahin semua ketakutan dan ketidakbisaan gue menjadi ‘bisa tapi gak
sempurna’. Memilih bidang seni dan desain juga gak mudah, gue harus melewati
krisis ekonomi, krisis ide, dan krisis percaya diri. Gue mulai masuk lembaga belajar
seni yang gak murah, mulai menggali ide sebanyak-banyaknya, mulai minder ketika
banyak manusia diatas gue.
Gue seperti manusia kerdil yang nyasar dan lupa alamat
rumah.
Berada dimasa kuliah membuat gue semakin banyak bertanya, apa ini passion gue? kenapa gue gak mau
usaha untuk memperdalamnya? Kenapa gue terpontang-panting sendirian? Kenapa gue
malah iri sama orang yang gak ada usahanya? Kenapa gue malah minder sama orang
yang beruntung, yang jalan hidupnya mulusss banget kayak pantat bayi. Gue
akhirnya mulai push diri sendiri.
Mulai latihan gambar lebih sering, mulai merelakan kampus impian, mulai
berbaur, mulai menghadapi ratusan rasa takut, memulai lagi semuanya dari awal.
Kalo diibaratkan berlari, dari dulu, gue selalu ingin
berlari di awal. Selalu ingin berusaha mengepalai banyak orang untuk
mengajaknya berlari sama gue, tapi mereka gak mampu, karena gue lari kecepetan.
Sampai akhirnya gue jatuh. Kelelahan. Dan mereka mendahului gue, padahal
sebenarnya tempo lari mereka mah sama aja. Cuma karena gue berhenti, gue
menganggap mereka terlalu jauh melampaui gue.
Passion itu punya
sisi baik. Lo jadi punya alasan kenapa lo harus terus hidup dan mengembangkan
diri.
Disisi gue terjatuh saat lari, mungkin gue bisa mengatur
pernapasan gue yang mulai kacau.
Sama kondisinya saat gue berhenti untuk terlalu ambisius,
mulai mengatur kalo gue gak bisa ambil semua hal dengan kedua tangan gue. Gue
akhirnya mulai menikmati kalo udara di Bandung itu luar biasa dingin dan kering.
Mulai menikmati irama menugas gue, mulai menikmati susahnya berada dijalan yang
udah gue pilih. Gue mulai membiasakan diri untuk menerima kesalahan—beberapa
kali menertawakannya. Gue mulai menerima patah hati dengan lebih baik—cukup
sekali nangis, abis itu gak boleh lagi. Gue mulai menikmati semua yang gue
acuhkan pas gue lagi lari, karena terlalu fokus untuk ke garis akhir.
Lo butuh jatuh, untuk bisa menikmati bangkit.
Gue pernah ada dititik gak punya harapan untuk hidup.
Beberapa masalah terus dantang membanjiri tubuh gue yang semakin kerdil, dan gue
semakin gak kuat. Tapi gue tetap jalan. Gue tetap mencoba berdiri untuk bisa
jalan. Tapi engga, luka dilutut gue terlalu besar. Akhirnya gue istirahat.
Disaat istirahat ini, gue merasa buruk banget. Gue gak ngelakuin banyak hal
dengan baik, gue gak ngelakuin hal yang buat gue senang. Gue merasa.. apa ya,
kurang produktif mungkin?
Tapi gue inget, semua itu ada porsinya. Nasi padang yang
dimakan ditempat sama dibawa pulang aja beda porsinya, gimana kita?
Porsi gue untuk istirahat adalah untuk istirahat.
Ada titik dimana gue ngerasa, gue merasa harus jalan
pelan-pelan untuk bisa ambil dua langkah lebih depan. Ibaratnya gini, lo kalo
mau jogging sama temen, lo pasti
persiapannya banyak. Pake sepatu yang nyaman, kaos kaki yang nyerap keringat,
baju yang nyaman, celana yang gak ngetat banget, pake earphone yang nyaman, gak lupa bawa sebotol air minum biar gak
kehausan. Lo paling lambat kan daripada temen-temen yang lain? Tapi lo mempersiapkannya
matang, lo tinggal harus lari nyusul temen lo dan jogging bareng.
Walaupun gak semuanya harus dipersiapkan, seenggaknya tau
kapan harus melepaskan persiapan dan biarkan Semesta mengaturnya.
Makin gede, mimpi yang dulu sebesar dan seambisius itu bisa
aja hilang. Terhapus sama realita dan pikiran sendiri, yang ujung-ujungnya cuma
bikin kita kayak perahu kertas diatas sungai. Ngikut air aja, untung juga
enggak. Padahal, sebenernya gue cuma butuh membawa mimpi gue yang tetap ambisi
itu dan menjadi perahu kertas diatas sungai, sampai ke pemberhentian
selanjutnya biar bisa kembali hidup lagi diatas tanah.
“kau takut dimasa
depan, tak sanggup memperjuangkan. Janganlah menyerah.” –Matter Halo, Melangkah
Lagi.

No comments: