time ≠ us
![]() |
| Bandung, 2016. |
[tulisan ini diketik tanggal dua puluh sembilan bulan lima
tahun dua
ribu tujuh belas dan di
modifikasi tanggal satu bulan tujuh tahun
dua ribu tujuh belas]
Hari ini gue kembali ke Depok. Setelah kurang lebih seminggu
menjajakan kaki di Tangsel untuk ketemu nyokap, beres-beres karena rumah di cherry
alhamdulillah udah kejual, juga jalan-jalan dan alhamdulillah lagi dibeliin hp
baru hehehe. Singkat cerita, ada beberapa kata yang terbesit dibenak gue saat
beberapa hari beresin barang-barang di rumah cherry. Dan mendadak juga, ada
scene Manusia Setengah Salmon muncul diotak gue.
“kalo kamu siap berpindah ke tempat yang baru, kamu juga
harus siap, untuk meninggalkan yang lama.”
Hal ini emang agak membuat gue terciduk sih. Secara gak
langsung, mungkin sebenernya gue belum siap untuk meninggalkan beberapa yang
gue anggap sudah lama. Patah hati, kasih sayang, cinta pertama, senyuman,
tangis, tawa, kecewa, marah, dendam, benci, heran, bingung, atau bahagia itu
sendiri. Dan nyatanya, mungkin beberapa dari itu memang sulit untuk dilupain
yang ujung-ujungnya bikin gue gak bisa ninggalin.
Mungkin, ini sebuah penyakit yang cuma butuh dua obat.
Waktu, dan ikhlas.
![]() |
| INDESIGNATION, 2016. |
Bagi gue, mukjizat setiap manusia adalah pulihnya ia dari
penyakit karena waktu. Seringkali waktu yang menyebabkan sebuah kecewa dan
patah hati, dan seringkali juga, waktu yang menyembuhkannya. Ya.. sebuah
kekuatan magis dari waktu emang gak bisa terelakkan. Terlepas dari peran
Sutradara hidup kita, ternyata selain waktu, ada faktor dari diri kita yang
bisa mendukung suksesnya sebuah pemulihan ‘penyakit’; ikhlas.
Cuma lagi-lagi, gue tipe manusia yang kurang bisa ikhlas. Dan
sebenernya, gue belum bisa memaknai arti ikhlas itu sendiri. Sama seperti cara
memaafkan orang lain dan terutama diri sendiri, seperti itulah bingungnya gue
cara mengikhlaskan sesuatu yang sudah pergi meninggalkan, mengecewakan, dan
menghancurkan. Waktu, apa kali ini tanganmu mulai memilin jawaban atas pertanyaan
super ambigu ini?
Jika ikhlas adalah memaafkan, seberapa besar rasa maaf kita
untuk orang lain—dan diri sendiri? Dan, bagaimana cara memaafkan yang
‘mengikhlaskan’ untuk orang lain—dan diri sendiri?


No comments: