Mengapresiasi keberadaan “apa kabar?”

May 16, 2021


Gue dulu bukan orang yang mau membuka topik, seperti suatu beban tersendiri untuk mengarahkan pembicaraan sesuai dengan minat dan kondisi satu sama lain. Makanya dulu gue lebih seneng mengumpulkan energi dengan melakukan banyak hal seorang diri, meminimalisir bertemu dan mengobrol banyak hal dengan orang lain. 

Lupa spesifiknya kapan, tapi ada waktu dimana hal tersebut jadi jarang dilakukan. Semakin sering gue dipaksa untuk bertemu dengan orang banyak, semakin berubah juga cara gue mengumpulkan energi. Gue jadi selalu penasaran dengan cerita dan kabar orang-orang, akhirnya ketemu dengan orang lain merupakan salah satu cara terpenting gue saat ini untuk bisa keep myself grow


Jadi jurus andalan gue setiap ketemu temen-temen gue adalah, 

“apa kabar? Gimana kehidupannya saat ini?”


Gue jarang menemukan pertanyaan itu saat ketemu dengan sanak saudara, seperti yang kita pahami bahwa semua orang punya bentuk komunikasinya masing-masing—dan gak sedikit yang kesulitan dengan hal ini. Sama halnya dengan bentuk komunikasi yang berbeda-beda, bentuk basa-basinya pun juga. Ada yang basa-basi standar, ada yang basa-basi-busuk.


Gak semua keluarga itu toxic kok, tapi di setiap keluarga pasti ada yang begitu. Jadi, karena gue jarang menemukan pertanyaan itu di sanak keluarga, makanya gue lempar pertanyaan ini ke temen-temen yang baru gue temui. 


Manusia senang untuk diperhatikan, didengarkan, dan diakui keberadaannya sehingga validasi seringkali lebih mudah diterima jika berasal dari orang lain. Menurut gue, menayakan kondisi lawan bicara merupakan cara yang manusiawi. Dari pengalaman gue, beberapa temen-temen gue semakin terbuka dengan kehidupan dan cerita yang ingin mereka bagikan ke gue ketika guenya sendiri juga gak menutup diri untuk mereka. 


Hal ini gue baru sadari ketika gue ketemu temen-temen deket SMP gue, di cuaca yang lembab dan panas pinggiran Kota Jakarta, kami sibuk meracik makan siang di dapur. Saling berbagi sedikit cerita dan banyak penilaian soal masak-memasak serta makanannya, lalu kami mulai sibuk bergumul dengan pikiran sendiri sambil menghembuskan asap ke udara.


Menariknya, kami video call dengan pacarnya temen gue—mengenalkannya ke gue karena kami belum pernah ketemu sebelumnya. Ia belum bisa hadir karena harus isolasi mandiri, jadi yang bisa gue lakukan adalah pertanyaan seputar kondisinya saat ini, kerjaan, tanpa harus embel-embel ‘kok bisa jadian sama temen gue?’ Karena gue gak sekepo itu hahahaha.


“Gimana?” Tanya temen gue, memastikan apakah dia orang yang layak buat temen gue ini. “Oke, dia menyenangkan.” approved.


“Lo kok bisa sih nad langsung kayak gitu?” Tanya pacarnya temen gue yang lain.

“Kayak gitu gimana?” Sepertinya gue gak melakukan hal-hal yang aneh sebelumnya.

“Iya, langsung ngarahin pembicaraan sama orang baru.”

“Aduh gak tau ya, mungkin karena terbiasa.”


Di waktu yang sama, rasanya gue mau ngetawain diri sendiri. Kok bisa Nadhira yang introver ini dulunya, bisa ngomong kayak gitu? Padahal dulu dia paling males dan takut untuk berkomunikasi dengan orang lain.


Tapi gue gak selamanya lancar ngobrol dengan orang baru atau temen-temen gue, karena gak suka dengan suasana awkward, akhirnya gue memaksakan diri untuk terus membuat topik atau menjaga topik tetap seru. Nyatanya gak mesti kayak gitu, gue gak harus seperti itu karena mereka gak menuntut hal yang sama. Jadi ketika gue belum ada bahasan, biasanya gue hanya diam sambil mengumpulkan energi lagi—mewajarkan hal yang gue sebenernya gak suka.


Dan ternyata baik-baik aja, obrolan tetap berjalan dengan baik.

Kami bisa menjaga kondisi obrolan tetap seru.


Semuanya jadi menyenangkan.

Bertemu orang dan berbagi cerita jadi menyenangkan.

2 comments:

  1. Cerita kaka dulu, ceritaku sekarang 🙂
    Karena ga suka suasana 'canggung'jadi selalu memaksakan diri membuat topik dan sebisa mungkin jaga topik biar tetep seru. Terlebih aku anaknya emang ga terlalu banyak omong juga😌

    ReplyDelete

Powered by Blogger.