bingung adalah bensin

August 22, 2020

Akhirnya.


Gue sempat berencana menunda kelulusan.

Beberapa orang terdekat sepertinya paham akan ketakutan gue untuk melihat dunia kerja dan menjalaninya—umur yang dirasa belum matang, pengalaman yang dirasa kurang, fase hidup orang lain yang seringkali jadi patokan sebuah kata ‘sukses’. Seakan-akan dunia kerja adalah kamar dengan pintu yang paling gak mau gue buka dan sengaja gue hilangkan kuncinya—karena katanya, katanya, dan katanya.


Kok bisa gue takut sama sesuatu yang ‘katanya’?


Gue sempat mempertanyakan eksistensi hidup, hanya karena semua terlihat sempurna jika tanpa gue di dalamnya, seakan jadi beban paling berat yang harus ditanggung kedua orang tua dan beberapa orang terdekat. Mau pura-pura bahagia atau engga, mau sering ngeluh atau engga—semuanya akan terlihat dan pasti akan baik-baik saja tanpa gue.


Gue sempat menyalahkan keadaan yang gak pernah menemukan titik terang. Menyalahkan semua orang karena seakan-akan gue yang harus menanggung semua akibatnya. Bangun tidur jadi hal yang paling gue sesali setiap harinya, jadi berat dan harus pura-pura kuat. Tapi bukannya setiap hari adalah kepura-puraan yang dibiasakan?


Gue sempat beberapa kali konsultasi karena seluruh ketakutan ini berakhir buruk untuk mental gue sendiri, jadi sakit parah. Tapi untung gue menyelamatkan diri sendiri—dan punya orang terdekat yang membantu. 


Ada satu percakapan menarik oleh Asri dan Abha—teman sekolah yang bertemu di usia lanjut—dalam buku ‘Waktu untuk Tidak Menikah’ milik Amanatia Junda. Dua sahabat ini mempertanyakan kematian, yang seringkali dipikirkan oleh mereka yang (mungkin saja) tinggal menjemput ajal. 


“Asri, menurutmu apa kematian sesederhana itu? Maksudku, prosesnya kita hanya perlu menerima tanpa perlawanan, bukan?”

“Yang kupelajari saat umurku paruh baya, ada masa ketika manusia harus belajar menerima pencapaian dan kegagalannya sekaligus. Itu mengurangi kadar depresi yang nanti akan kita hadapi di masa tua..”


Gue sedang berada di kebingungan yang panjang—setiap harinya. Mempertanyakan apakah yang gue lakukan ini adalah proses menuju kata ‘sukses’ yang sering orang gaungkan? Apakah yang gue lakukan ini akan berdampak untuk gue sendiri—atau orang lain? Apakah yang gue lakukan ini gak membuat gue menyesal di akhir? Kenapa ya gue harus menyesal sama suatu hal yang bahkan di awalnya aja udah kelamaan mikir? Apakah gue bisa konsisten tapi gak monoton? Apa yang orang lihat dari gue ya? Apakah gue terlalu sombong untuk ini? Apa bahagianya gue tergantung reaksi orang lain juga ya? 


Apakah gue cukup?


Bingung jadi bensin hidup paling menarik yang gue temukan di umur 20 ini. 

Menarik karena banyak yang bisa ditarik kesimpulannya. 

Kesimpulan-kesimpulan yang melahirkan persepsi baru. 


Mungkin ini namanya taman bermain berkedok kehidupan, kadang jatuh tapi pengen main lagi karena ngeliat temen ‘kok bisa gak jatuh?’. Kadang pengen main ke wahana yang bahkan gue aja gak tau gimana cara maininnya, ngasal aja yang penting seru. Kadang pengen bengong di ayunan sampe tau-tau adzan magrib. Kadang nangis karena mainnya sendirian, tapi kalo rame banget malah lebih sering dikerjain daripada main bareng.


Lucu banget hidup gue.

No comments:

Powered by Blogger.