to find yourself
Rasanya, makin hari sosial media tuh jadi hal yang paling
mendominasi hidup ya. Bangun tidur, yang dilihat ponsel. Bukanya kalo gak
Instagram, ya paling linimasa Line atau Twitter. Kadang kita lupa, kalo setelah
buka mata harusnya kita bersyukur dulu ke Tuhan, masih bisa bernapas.
Konsep sederhana dari sebuah media sosial adalah menyebar
momen-momen penting di hidup kita. Sesuatu yang masih disalah-artikan oleh
orang-orang.
Itulah kenapa banyak diantaranya yang bahagia banget bisa ketemu
teman lama, lalu posting ke Instagram.
Atau ada orang yang punya kisah seru dengan anak-anak, di-share jadi thread di
Twitter. Atau mungkin untuk social media
branding, salah satu lahan penting sebagai pekerja yang hidup di generasi
Z.
Tapi kadang, kita malah menjadikannya arena lomba sharing kehidupan paling bahagia.
Tanpa
sadar, kita jadi kehilangan arah di dunia maya. Secara perlahan kita bukan
menginspirasi atau terinspirasi, justru menjadi plagiator mahir yang hidup dibalik
layar. Kita sibuk berlomba, sibuk mengikuti, sibuk sibuk sibuk dan sibuk
lainnya.
Gue
ada di salah satu arusnya. Hidup sebagai manusia yang sibuk berlomba menjadi
yang paling bahagia. Sibuk sebagai manusia yang hidup untuk memunculkan rasa
iri pada hati orang lain. Sibuk menjadi manusia yang ternyata tidak melulu
membuat gue bahagia. Dan gue lupa untuk mensyukuri kebahagiaan itu sendiri.
Yang menjadikan gue lupa tujuan diri gue hidup seperti apa.
Hari
itu gue merasa kosong. Hilang arah. Gak tau harus gimana dan berbuat apa.
Akhirnya
gue memutuskan untuk bercerita, lewat media apa aja. Dari sekedar tulisan di
kolom percakapan gue, berlanjut ke baris demi baris di Microsoft Word, sampai
ke lisan yang gue ceritakan ke orang-orang yang gue percaya. Memang gak
menyelesaikan, seenggaknya gue bisa mengerti kalo ternyata gue bukan lagi
dikasihani, tapi mereka yang perlahan mengerti karena komunikasi.
Gue
akhirnya berusaha untuk keluar dari siklus. Mencari diri sendiri ditengah
kerumunan orang yang juga sibuk mencari—entah apa urusan mereka. Gue sibuk
menerka diri sendiri, memastikan segala hal yang gue lakukan adalah keputusan
yang tepat. Gak mudah, gak mudah untuk seseorang yang implusif dalam
menyalahkan diri sendiri.
Dalam
beberapa bulan terakhir, gue coba untuk menenangkan diri. Coba untuk berdamai
dengan segala hal yang dulu selalu menjadi alasan untuk men-denial semuanya. Coba untuk menerima hal
yang dulu selalu gue ributkan, menjadi suatu hal untuk sebuah pembelajaran.
Iya,
gue masih mencoba.
Sama
seperti kalian.

No comments: