awal mula

October 01, 2017
Setiap akhir itu adalah sebuah awal yang lain.

Hal itu selalu gue percaya dari pertama kali gue denger pernyataan itu, sampe sekarang. Setiap akhir dari sebuah cerita yang terjadi sama gue, semua mimpi yang pernah gue impikan, semua kejadian yang bahkan gak sempat terjadi. Adalah awal dari cerita yang lain, kejadian yang lain.

Termasuk mimpi.

Gue terlahir sebagai pengkhayal ulung dan mulai terasah sejak hobi baca novel. Pertama kali kenal buku selain buku pelajaran tuh kelas 5/4 SD, dan yang paling gue inget adalah di umur yang sepiyik itu, justru novel pertama yang gue baca bukan novel anak yang menceritakan akhir persahabatan yang indah. Tapi malah baca Anak Kos Dodol-nya Dewi Rieka. Iya, absurd banget tiba-tiba baca buku komedi Anak Kos Dodol padahal lu masih SD.

Sejujurnya dari dulu gue udah suka baca, anaknya sering banget pas SD ngulang-ngulang materi yang udah dijelasin. Dan yang paling gue benci ya Matematika, karena dirumah gaada yang bisa, apalagi buat ngerti. Akhirnya, gue perlahan mencintai dunia teori dan bercita-cita jadi penulis macam Sri Izzati atau yang lebih macho-nya tuh Tere Liye atau Ika Natassa. P e n u l i s.

Ada satu hal yang selalu jadi ciri khas gue semasa SMP, cewek-cewek dikelasan gue hobi banget tuker-tukeran novel. Bahkan gue saking sukanya tuh sampe beli novelnya temen gue itu—suka banget sih ngumpulin novel bentuk fisik, kayak ada sensasi tersendiri aja gitu. Dan berhubung drama diantara anak SMP lagi gencar-gencarnya, bikin kita agak mager gitu buat cabut kelas atau sekedar nongski cantik. Belum lagi tugas dan ulangan harian kelasan gue tuh super-duper-hectic, bhay banget deh. Jadilah pelarian kita terhadap rutinitas jatuh ke novel-novel romance yang super cliché dan berakhir a-very-happy-puppy-ending. Hell no.

Jujur aja gue masih suka kok genre romance di novel, apapun itu jenis romance-nya. Cuma ya dulu gue bisa sampe kebawa mimpi, atau minimal tuh fangirling gitu. Agak jijik ya. Sekarang gue cuma bisa memahami kalo itu semua hanya fiksi. F i k s i.

—walaupun kadang suka ngebayangin sih, kalo hal-hal romantis itu terjadi sama gue.

Setiap awal adalah akhir yang telah usai.

Begitu gue mengakhiri mimpi menjadi penulis, gue baru menemukan hobi dan minat baru di gambar sejak SMA. Berhubung di SMA gue dituntut untuk sedikit lebih gercep alias gerak cepat, mau gak mau gue menetapkan seni dan desain sebagai tujuan gue untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dikelas gue yang piyik itu, hanya gue yang mengambil seni dan desain sebagai pilihan utama jurusan kuliah dan (untuk) selamanya. Berbeda dengan keenam teman gue yang berkelebihan di otak kirinya, gue merasa gak masalah untuk berkelebihan di otak kanan. Dan gak peduli apa kata hasil psikotes kalo: 1. Gue seharusnya masuk jurusan IPS pas SMA. 2. Gue harusnya ambil jurusan perkuliahan Ilmu Ekonomi, Kimia Murni, atau Sastra Inggris.

I said no, cause this dream would never dissapointed me.

Mimpi gue ini kembali bertentangan dengan dunia, khususnya dipihak orang tua gue. Karena diam-diam mereka menyelipkan mimpi, agar salah satu anaknya bisa masuk kedokteran. Berhubung abang gue udah memilih ambil IPS dan jurusan Tarjamah Bahasa Arab di perkuliahannya. Gue yang ambil jurusan IPA di SMA, justru nyebrang jurusan di perkuliahan. Tapi, gue ga masalahin banget sih.

Jadi, ini adalah awal hidup gue.

Sekaligus, awal dari akhir mimpi.

No comments:

Powered by Blogger.