hidup di tanah lain

June 05, 2018

Kereta Gaya Baru Malam Selatan
29 Mei 2018.
"Penumpang yang saya hormati, selamat datang di Kereta Gaya Baru Malam Selatan tujuan akhir Surabaya Ubeng.."

Tapi gue gak ke Surabaya kok, gue sekarang lagi ada diperjalanan menuju ke Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Pagi gue diawali dengan stok novel baru yang habis—asli, nyeselnya sampe sekarang. Gak kebayang 8 jam perjalanan gue, akan gue isi apa selain nulis dan tidur. Perjalanan dari rumah gue ke Stasiun Pasar Senen memakan waktu dua jam. Gue berangkat jam 7 dari rumah, dan baru sampai jam 9. Gue langsung menuju tempat penukaran tiket, gak sabar merasakan kereta ekonomi diperjalanan jauh untuk pertama kalinya.

Sekitar setengah jam kemudian, gue mendengar samar pengumuman bahwa kereta gue akan berhenti. Gue melihat banyak dari penumpang yang berdiri, merapihkan barang bawaannya, mendekati gerbong-gerbong kereta yang bahkan belum berhenti sama sekali.

Padahal, dari sumber suara bilang kalo kita harus tunggu kereta berhenti dengan sempurna, baru bisa masuk. Tapi justru banyak diantaranya yang menaiki saat kereta belum berhenti sempurna. Tipikal orang indo, hehe.

Gue dengan santai ke gerbong 3, mengantre dan menaikinya. Mencari nomor kursi sesuai dengan yang tertera ditiket, 18A—tempat duduk favorit dekat jendela. Dari belakang, gue melihat seorang ibu-ibu yang ternyata membawa anak balita perempuan. Mereka menduduki bangku nomor yang tertera di tiket gue. "Permisi bu, saya 18A." Dia malah mempersilahkan gue untuk duduk di 18C, paling dekat dengan jalan tengah. "Gak papa neng, duduk disini aja. Anak saya maunya dideket jendela. Maaf ya."

Rasanya pengen teriak dan nangis depan muka ibunya.

Gue selalu suka berada didekat jendela. Diperjalanan darat, gue senang berada di dekat jendela karena gak bakal bosen buat lihat perjalanan yang mungkin isinya cuma pohon-pohon atau kemacetan aja. Di udara, gue senang duduk didekat jendela karena suka lihat awan. Mau siang atau malam, gue tetap suka duduk dekat jendela. Jadi, begitu gue tau kalo gue gak bisa duduk di dekat jendela padahal gue ada hak disitu. Kayak gue dijatohin ke sungai padahal tau arusnya lagi deras.

Gue sepertinya membatin sepanjang perjalanan.

Dihadapan gue, ada ibu-ibu dan dua orang anak yang masih balita juga. Seorang bapak memangku salah satu anaknya, ibunya yang memangku anak terakhirnya lagi membuat susu. Gue kira buat susu formula bayi, tapi si ibu justru buat susu untuk anaknya dari susu kental manis. Takaran gula di susu kental manis gak baik untuk anak kecil, sayang banget padahal.

Setelahnya, si ibu kasih snack Momogi yang MSG-nya lumayan banyak. Makin miris lihatnya.

Si anak dekat jendela yang mengambil tempat duduk gue, justru malah main sama anak-anak dikursi lain. Dan ibunya selonjoran tidur. Ini mah ibunya aja yang mau dideket jendela.

Tapi lambat laun, gue akhirnya mulai terbiasa. Si ibu dihadapan gue sedang tertidur sambil duduk memangku anaknya yang paling kecil, kadang gue jadi inget suatu hal.

Ibu-ibu muda dikota, sibuk memberikan pangan terbaik untuk buah hatinya yang sedang tumbuh dan berkembang. Gue melihat sosok ibu lain yang jauh dari 'hanya memberikan pangan terbaik'—tapi berhasil memberikan rumah terbaik.

Hari makin siang, anak-anak kecil digerbong 3 makin rewel minta makan. Disela-sela itu, muncul berbagai topik pembicaraan. Mulai dari kedatangan sepupu salah satu penumpang, cerita seputar kuliah (ketemu anak kuliahan akhirnya!), sanak saudara yang kerja, perjalanan, sampai tentang anak.

5.32 pm.
Bentar lagi buka puasa! Gak kerasa gue bisa melewati satu hari ini tanpa batal, gue kira gak bakal kuat. Gue sekarang lagi ada di Sruweng, Jawa Tengah. Sejam lagi gue sampai di Stasiun Lempuyangan. Suara adzan berkumandang di handphone gue, gak lama gerbong ini mulai mengumandakannya. Hiruk pikuk manusia-manusia yang berbuka mulai keluar, walaupun gue sendiri, seenggaknya gue gak buka puasa sendirian.

"Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta Gaya Baru Malam Selatan akan tiba di Stasiun Lempuyangan, Stasiun Lempuyangan.."

GUE UDAH NYAMPE.
Senang tak terkira.

Setelah lelah dengan pencarian mushola yang hasilnya nihil, gue udah kabarin salah satu teman dekat gue untuk jemput di stasiun, namanya Joni. Dia kabarin gue beberapa menit kemudian kalo dia udah sampai. Gue berusaha menghampiri dia ke tempat parkir. Akhirnya kita ketemu, dia mulai membonceng gue ke tempat makan karena gue sangat amat sejuta kali lapar. Iya lah, cuma makan roti aja tadi pas buka puasa.

Dibawah bulan purnama yang terang dan bertabur bintang dilangit Jogja—ceilah—gue justru dibawa ke warung kopi dekat kampusnya. "Disini nasi oseng ayamnya enak nad." Dia bilang begitu pas gue udah pesan nasi ayam rica-rica dan lupa kalo gue gak bisa pedas. Agak gak guna ya.

Akhirnya gue menghabiskan sepiring nasi itu dengan garuk-garuk kepala karena PEDES PARAH. "Keturunan Sumatra gak bisa pedes, malu lu." Songong nih makhluk bawa-bawa suku. Di warkop itu justru rame banget, beneran rame gak kayak ekspektasi gue. Dia yang pesan nasi-entah-apa-namanya dan segelas es manis hangat, kembali memesan kopi biar kita ngobrolnya lama. Emang kalo trik lama suka ketebak.

Hampir 3 jam kita duduk dan cerita, sambil nonton pertandingan bola yang volumenya di-off-in sama si empunya. Hiruk pikuk warkop makin malam makin ketara, kita akhirnya memutuskan pulang.

Gak deng, maksudnya ke angkringan. Agenda wajib kalo ke Jogja.

Aslinya kepala gue sebenarnya lagi sakit, karena emang kurang tidur aja kali ya. Tapi fisik gue kayak memaksa untuk tetap ke angkringan, akhirnya angkringan dekat Malioboro yang kita pilih. Dua gelas tape hangat dan remang-remang lampu jalan, berbaur bersama topik yang kita lontarkan. Bahagia emang sesederhana ini.

30 Mei 2018.

karya Mulyana.
Hari itu gue tutup dengan telat bangun sahur, itu juga harus digretak dulu sama kasur bawah karena alarm gue berisik. Untung aja gue punya kupon breakfast yang emang untuk sahur. Oh iya, ngomong-ngomong tentang penginapan, gue ada rekomendasi buat penginapan murah buat kalian yang ke Jogjanya ga rame-rame banget. Namanya EDU Hostel, dijalan Letjen Suprapto, persis dibelakangnya Hotel Cavinton. Jenis hotel disini sih emang untuk backpacker gitu sih, jadi harganya terjangkau banget. Bentuk kamar disini kayak bunk bed, yang sekamarnya ada 3 kasur bertingkat dan 2 kamar mandi. Pelayanannya ramah banget, fasilitasnya lengkap buat yang gak ribet kayak gue, harganya cuma 80k permalam untuk perorangnya. Disini juga disediain rooftop area, lounge lesehan gitu, sama ada WIFI SUPER CEPAT YIHA. Enaknya lagi, destinasi gue kali ini bener-bener deket sama EDU Hostel. Senang tak terhingga.

Gue bertemu salah satu teman dari Medan, kita ngobrol banyak pas makan sahur. Berencana buat ke masjid terdekat (dan ternyata emang sedekat itu dari hostel) untuk salat subuh karena dia kebetulan gak bawa mukena. Akhirnya kita ke masjid dan dengerin ceramah sekitar 10 menit, terus balik ke hostel dan lanjut tidur.

Bangunnya, gue dijemput sama Joni untuk ke tempat pameran yang menjadi tujuan utama gue kesini. Coba tebak berapa jaraknya? Cuma 500 meter! Artjog sendiri berada di Jogja National Museum, kita berangkat sekitar jam 11an lewat kayaknya. Dengan jarak sedekat itu, gue ngerasa baik-baik aja sampai ternyata kita datang pas ada salah satu rombongan dari institusi seni di Indonesia datang. Honestly, gue dan Joni berusaha menghindari rombongan itu karena RAME BANGET WOY. Jogja National Museum menurut gue besar banget sih, bertingkat 3 pula. Masih ada sisa gaya kolosal zaman Belanda dulu, terus ada isntalasi bentuk hexagon yang dominan warna silver. Gue penasaran isinya itu istalasi apa, ehhh ternyata, itu instalasi ter-iconic di Artjog 2018.

Setelah puas berkeliling di Jogja National Museum, gue menyimpulkan satu hal: masyarakat masih gak ngerti caranya mengapresiasi karya. Mereka mengapresiasi dengan swafoto, untuk stok display picture mungkin, sedangkan orang banyak yang berusaha memaknai setiap karya. Seniman berkarya buat untuk dijadikan background display picture-mu. 

Joni dan Lukisan.
 

Gue kembali ke hostel karena Joni mau kuliah, jadi gue bisa salat dan tiduran sebentar sebelum berburu takjil. Setelah solat dan rehat sebentar, gue ke Gramedia Sudirman untuk cari buku baru. Sempat googling tempat cari buku murah, tapi kayaknya list novel terbaru tuh menunggu untuk dibeli gitu, jadinya Gramedia cuma satu-satunya pilihan. Gue kesana naik Gojek, gak lama seorang bapak-bapak berjaket hijau neon khasnya datang, lengkap dengan helm berlogo Gojeknya. Diperjalanan, bapak ini banyak cerita seputar Jogja. Mungkin karena tau gue bukan berasal dari sini, dia cerita seputar asal usul beberapa tempat yang kita lewati, kesetaraan peminat angkutan umum di Jogja, sampai awal mula adanya ceramah sebelum Tarawih. Gila, berbobot banget gak sih?

Diakhir perjalanan, dia mengucapkan terima kasih dan hati-hati buat gue, baik banget ini orang. Sehat selalu, bapak!

Pasar Sore Ramadhan Gang Kauman
Tujuan gue ke Gramedia selain beli novel adalah beli kado buat Joni. Berhubung besok itu ulang tahunnya Joni, gue sempat kebingungan mau kasih dia kado apa. Lagian katanya, sahur nanti dia mau traktir gue, kalo gak ngasih kado kan gak enak aja gitu. Sorenya setelah puas (bingungnya) beli buku dan kado, gue berburu takjil di Pasar Sore Ramadhan Gang Kauman. Ada gang kecil yang ramai pengunjung, daya tariknya ada pada panganan yang dijual. Banyak camilan tempo dulu yang masih tersedia disini, berhubung harganya juga murah, gue borong agak banyak buat berbuka nanti. Gue mengeluarkan 15 ribu untuk 4 jajanan, semuanya dalam porsi yang ga terlalu banyak sih. Tapi menurut gue itu murah. Dan ternyata, gue baru tau kalo Kauman itu daerah yang cukup terkenla di Jogja.

Gue kembali ke hostel sekitar jam 5 sore, sambil nunggu buka, gue sempatkan diri untuk baca novel yang baru gue beli.

5.30 pm.
ADZAN BERKUMANDANG. Gue gak bisa buka sama Joni karena tadi pagi mendadak dia ada dihubungi temannya buat buka bersama angkatan, sayang juga karena dia udah bayar. Gue buka sendirian, lagi.

Lama gue menunggu Joni datang, karena katanya dia mau ngajak makan disalah satu warung baso yang enak. Akhirnya gue memutuskan diri untuk ke sentra bakpia pathok yang dekat banget sama hostel gue, cuma 500 meter. Bakpia Pathok 25, yang paling terkenal itu. Gue baru ngeh kalo ternyata SMP kelas 9 gue pernah kesini untuk beli bakpia. Bedanya, sekarang gue bisa leluasa milih karena sepi. Setelah beli bakpia buat nanti gue bawa pulang. Gue pergi salah satu es kopi susu yang terkenal di Jogja setelah gue salat isya, namanya Hayati Coffee. Ada di jalan Demangan Baru, sampingnya ada store baju yang terkenal di Instagram, Poplucastore. Gue tau ini dari salah satu referensi di blog, karena harga kopinya cuma 15rb! Ternyata itu harga untuk takeaway/Go-Food. Kalo dine-in, 25rb....

Tercekak karena gue kira mahal disajikan pake gelas beling, toh cupnya dari plastik juga. Sama kayak takeaway. Tapi, sebenarnya kopinya enak pake banget sih. terus tempatnya cozy banget woy. Betah deh lama-lama disana, kalo gak sendirian tapi ya. Hampir 2 jam gue disitu, tanda-tanda joni ngabarin gue mau otw kesini aja enggak.


Bakpia Pathok 25.
Gudeg Pawon malam hari.

Hayati Coffee


09.30 pm.
kalo jam 10 gak dateng, gue makan sendirian ya.
Sent.

Sebenarnya karena gak mau sih makan sendirian, udah seharian sendiri, masa penutup hari gue masih sendiri juga. Sedih banget gue kayaknya di tanah orang. Pesan tadi gue kirim ke Joni, agak sedikit ngancem biar dia mau nemenin gue makan malam ini, lagipula perut gue udah sakit belum makan berat. Akhirnya jam 10 lewat dikit dia sampai ke Hayati Coffee, kita langsung meluncur ke Gudeg Pawon.

Pertama, kita gak tau tempat ini kayak apa dan dimana. Beruntung hidup dijaman serba bisa, maps membantu banget dan ternyata tempatnya lebih kayak rumah ketimbang kedai—atau sebenarnya emang beneran rumah. Dan benar aja, emang tempatnya itu rumah. Kita bisa langsung ngeliat cara pembuatannya dari dapur yang penuh dengan asap mengepul dan hitamnya kayu bakar. Semua masih tradisional, sekalipun kendi-kendi tanah liat yang menjadi ciri khasnya itu juga tampak menghitam.  Gak jauh dari dapurnya, banyak bakul yang menyajikan lauk andalannya: gudeng, krecek, ayam bacem, dan telor bacem. Gue gak melihat tempat ini kayak menjual gudeg, malah kayak lagi ada arisan dan menu utamanya itu gudeg. Soalnya sebegitu homey dan tempatnya dirumah gitu kali ya. Tempat duduknya sendiri dibagi jadi 2, ada disebelum pintu masuk, sama setelah dapur. Gue dan Joni milih setelah dapur, yang ternyata adalah teras si pemilik Gudeg Pawonnya. Ya Allah, ini beneran kayak lagi arisan, makannya dirumah orang. Tinggal ngibrit pulang aja ini mah, gak usah bayar.

Gak deng, kita banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol dari hal yang penting kayak kuliah, sampai ke makhluk-makhluk di dalamnya. Seru, bulan yang bulat menderang itu masih menemani kita sampai akhirnya si empunya rumah bilang kalo tempatnya udah mau tutup, bener aja sih, udah jam 12 malam soalnya. Harga makanannya sendiri relatif murah, gue bilang relatif karena INI ENAK BANGET. Parah. Porsi gue 36 ribu, sedangkan Joni 28 ribuan gitu, itu udah sama es teh manis.

Kita pulang.
Joni ngajak gue muter-muter Jogja malam hari dan gue kedinginan plus kebelet pipis.

8.30 am.
Kita gak jadi sahur bareng karena Joni ada kelas jam 7, sebagai gantinya, gue pergi ke Tamansari sendiri. Cuma 18 menit dari hostel gue kalo jalan kaki, berhubung tempat masuknya dari Pasar Ngasem. Jadinya gitu lumayan rame, tapi gue senang, soalnya akhirnya gue bisa ­me-time. Banyak foto-foto ditempat yang menarik, melawan terik matahari siang yang bawaannya kangen sama es teh manis. Juga berusaha menghindari pemandu wisata yang menawarkan diri untuk jadi tour guide, asli deh, lagi pengen menikmati semua sendiri.


Ternyata sendirinya itu lama.

Siang sebelum kepulangan gue, gue mendadak lemes banget hasil jalan-jalan dibawah matahari terik. Akhirnya gue tepar, begitu mau minta Joni anterin ke stasiun. Dia tiba-tiba gak bisa, karena lagi ada urusan dan ada kendalan dikosan temannya.

sudut jalan.

Gue sedih banget.

Kayaknya, emang punya harapan ketinggian itu gak baik. Gue udah bungkus dan taro baik-baik kado kemarin supaya bisa kasih ke dia dan gak lupa ucapin terima kasih buat 3 harinya. Tapi akhirnya cuma bisa lewat telfon aja.

“oke, makasih ya Jon buat 3 harinya.”
“maaf banget ya, Nad. Aku gak tau kalo semuanya tiba-tiba kayak gini.”
“iya, gak papa kok.”
Begitu telfon tutup. Gue nangis.

Gak tau kenapa gue nangis aja. Mungkin karena gue bakal lama lagi ketemu dia, udah buru-buru ke stasiun. Masih nangis juga mikirin hal tadi. Rasanya, gue kayak gak mau kenal Joni lagi. Tapi, buat apa gue marah? Gue kan bisa ketemu dia bulan Agustus nanti.

Sesampainya gue di kereta Bengawan, mencoba tenang dengan 5 laki-laki disekeliling gue. Iya, Gue duduk diantara semua laki-laki. Dan sebenarnya gue takut, hehehe.

Yang bisa gue ambil dari perjalanan ini apa ya, mungkin kita harus nambah destinasi HAHAHA gak deng. Gue percaya setiap orang punya cara sendiri buat tau dirinya seperti apa, mungkin ini salah satu cara gue. Anaknya emang gak bisa diem sih, sekalinya diem ya kelamaan diemnya.

Semoga gue bisa kembali lagi, Jogja.

No comments:

Powered by Blogger.