ibu; bagian kedua.

January 21, 2018
dok, pribadi
McDonald jadi rame banget, alunan lagu yang diputar seakan menggema ke seluruh penjuru ruangan, berbaur dengan puluhan orang yang menduduki kursi mereka masing-masing. Sambil berbincang, tertawa, tak jarang oktaf mereka sedikit meninggi ketika memanggil salah satu orang, atau saking asiknya bercerita. Di belakang kasir, suara alat dapur juga tidak kalah nyaring. Gesekan antara stainless steel, suara tumpukan nampan, minyak panas dengan kentang gorengnya. Dua orang diseberang tempat gue duduk asik banget cerita, salah satunya yang sangat bersemangat dan satunya lagi siap memasang telinga. Dipojok kiri belakang gue, ada seorang cewek dengan santai duduk bertatapkan laptop, persis seperti apa yang gue lakukan sekarang—bedanya tempat dia lebih pewe aja. Banyak orang berlalu-lalang disini, ada OB dengan seragam putih-hitamnya, anak-anak yang sibuk berlarian, beberapa remaja sibuk mencari tempat duduk.

Gue memasang earphone pada kedua telinga gue, tidak terlalu tertarik dengan lagu yang diputar, juga terlalu bising untuk bisa fokus menulis ditengah keramaian seperti ini. Gue juga sama sekali belum menyentuh Blackpepper Beef Rice Special Prosperity yang tadi gue pesan. Membiarkannya dingin seperti udara hari ini dengan segelas ice lemon tea.

Kali ini, gue mau cerita tentang ibu.

Beberapa hari yang lalu, gue dapet musibah yang cukup bikin gue nangis sesegukan. Handphone gue jatoh dan hilang. Hari itu harusnya jadi hari terproduktif gue semester ini, mendadak rencana gue hancur berantakan, setelah gue nyampe perpus abis beli alat buat kelas studio gue Senin besok. Gue turun dari motor dan merogoh kantong kardigan gue, kosong. Gue cek tas laptop, ga ada. Gue cek tas ransel butut gue, ga ada. Gue telusuri jalan yang gue lewati pas pulang bareng Go-jek yang tadi gue order, ga ada. Intinya, itu jatoh dan di ambil orang.

Dengan panik dan takut, untungnya driver Go-Jek sangat berbaik hati mengantarkan gue pulang. Gue langsung minta temen-temen deket gue buat telfon handphone gue, memastikan kalo kartunya ga dibongkar. Kadang gak aktif, kadang sibuk. Gue e-mail ibu dan bapak, ibu yang lagi sama kakak di Makassar langsung telfon gue lewat LINE kakak.

Gue menceritakan kronologisnya, dia hanya bilang, “ya udah Nad gak papa kok, mungkin ini belum rezeki kamu. Lain kali hati-hati ya jangan terburu-buru.”

Gue tercenung, ada banyak banget beban yang gue tanggung waktu itu—hasil penyesalan dan membodohi diri sendiri karena teledor. Bukan karena isi handphone gue, tapi ada yang jauh lebih penting daripada itu. Ada keringat ibu yang berjuang untuk beliin gue handphone itu. Ada doa disana untuk membuat gue bertahan lama, dengan handphone yang udah dikasih hasil jerih payahnya. Ada ‘dia’ disana, dan gue menghilangkannya.

Penyesalan yang semakin bertubi-tubi ketika gue menerima e-mail dari bapak, beliau bilang mau service hp iPhone gue yang lama. Gue menolak dalam hati, tapi hanya mengetik terima kasih dan maaf sebanyak mungkin, dengan jari-jari lihai gue yang menari di atas keyboard laptop. Gue terdiam, menangis, terdiam lagi, dan menangis sejadi-jadinya.

Beberapa temen gue yang gue ceritakan masalah ini ikut berempati, memberi semangat, bahkan ikut membantu mencarikan lagi. Tapi semua nihil, usaha kita ga membuahkan hasil. Gue kembali ke kosan dengan tatapan kosong, lengkap dengan suara deru mesin mobil dan motor, juga knalpot jalan Terusan Buah Batu sore itu. Gue terduduk lemas, membayangkan ibu.

Kenapa bisa sebodoh dan setolol itu sih, Nad?

Ibu adalah seorang pekerja keras. Sewaktu gue pulang liburan UAS semester 3, gue membawa serta kabar gembira. Gue berhasil menaikkan IPK yang selalu gue takutkan akan turun, karena aktifitas luar kuliah yang membutuhkan tenaga ekstra. Begitu dia menjemput gue di bandara kala itu, gue langsung memeluknya. Makassar masih hujan malam itu, tapi hati gue bersinar terang seperti disoroti matahari. Yang gue selalu rindukan, akhirnya bisa kembali dipertemukan.

Dimobil, gue lebih banyak diam. Melihat hujan yang tetap deras sambil terus membasahi jalan Pettarani, merenungi kedatangan gue ke kampung halaman ibu. Hujan masih terus melucuti tanah sampai ke rumah sepupu gue, kita bertemu, gue merapikan barang-barang gue, dan tidur disebelah nyokap. Kita bercerita sesekali, sembari menemaninya terlelap kelelahan main Candy Crush. Gue kembali termenung, menikmati setiap detik bersama ibu.

Ibu selalu membangunkan gue setiap subuh—entah kenapa setiap pulang, bangun pagi adalah hal tersulit yang gue lakukan. Beda dengan di Bandung, gue bisa bangun pagi cuma dengan sekali alarm. Ibu berhasil punya kerjaan lain, selain menerima proyek dari kantornya. Ibu punya kedai kopi yang diturunkan dari Om gue, dia kerjakan bersama kedua temennya dengan tiga pegawai. Hari itu gue mampir ke kedai kopinya, memesan nasi kuning yang entah kenapa selalu beda—dan enak. Sambil menemaninya menimbang biji kopi, gue sedikit banyak ngobrol sama dia. Gue juga menemaninya ikut jaga bazaar di salah satu acara organisasi yang diketuai Om gue, menemaninya belanja kebutuhan kedai, menemaninya makan sampai gue begah dan mau muntah. Memijit kakinya yang kecil dan kuat sambil menggerutu di hati, tapi tetap gue lakukan. Gak ada kali kegiatan sedekat ini sama ibu selain pillow talk dengannya, tentang banyak hal.

Ibu banyak memberikan cerita, kita berbagi cerita. Di Panbaker’s, kita bercerita tentang kecintaan gue yang—masih—pada interior, sebuah keinginan terdalam menjadi arsitektur yang gue pupuk dalam-dalam. Banyak bercerita tentang kakak, tentang kuliah, tentang kerjaannya, tentang bapak.

Keluarga gue ga ada yang suka nonton film di bioskop, kecuali keluarga sepupu-sepupu gue, jadi dari dulu bisa dihitung pake jari kapan aja gue nonton film bareng sama keluarga gue—dan ga pernah lengkap. Tapi hari itu, nyokap memenuhi keinginan gue untuk nonton film. Gue tau lutut dia gak bisa dingin, bakal sakit banget buat dia jalan dengan kondisi dingin. Gue—dengan bodoamatnya—tetep ngajak dia nonton, berusaha gak peduli dengan lututnya walaupun gue tau. Sesekali menyeka air matanya pas nonton Susah Sinyal. Atau ikut tercengang dengan nyanyian This Is Me-nya Keala Seattle di The Greatest Showman—begitu pulang, langsung dengerin lagunya di Youtube. Setelah lampu bioskop menyala, gue membantunya berdiri, menuruni tangga, sambil berkomentar film yang telah ditonton.

Disaat temen-temen seusia gue asik ngobrol berlama-lama dengan nyokapnya setiap hari, gue hanya punya waktu seminggu disini. Nyokap melarang gue pulang cepet, gue terpaksa re-schedule pertemuan gue di Jakarta sama temen-temen gue. Gue mencoba sabar dengan pertemuan yang singkat ini, memendam kesal karena gak bisa bertemu lama-lama dengan ibu, juga rindu dengan teman di Jakarta.

Dilema ini berbuntut dengan kepulangan gue lewat dari beberapa hari yang telah ditargetkan, gue berangkat dari kedai kopinya sambil memberi salam dengan kedua temannya yang juga ikut melepas gue. Sepanjang jalan, kami banyak diam. Gue gak mau merusak ketenangan ibu, dia pasti rindu dan sedih gue harus pulang secepat itu.

Dilangit Makassar, ada banyak doa yang ikut mengudara. Doa gue salah satunya, dan doa ibu yang mendominasi segalanya.

Ibu adalah pekerja keras, tapi tidak dengan hatinya. Hatinya yang lembut, seringkali gak bisa gue baca dengan mudah. Hidupnya jauh lebih baik sekarang, banyak proyek yang ia kerjakan. Malam tahun barunya ia lewati bersama teman-temannya, ia lebih banyak tersenyum. Ia lebih bahagia, ia ‘bebas’.

Gue seneng ngeliatnya.


Udah ya, segitu dulu.

No comments:

Powered by Blogger.