ibu; bagian kedua.
![]() |
| dok, pribadi |
Gue
memasang earphone pada kedua telinga gue, tidak terlalu tertarik dengan lagu
yang diputar, juga terlalu bising untuk bisa fokus menulis ditengah keramaian
seperti ini. Gue juga sama sekali belum menyentuh Blackpepper Beef Rice Special
Prosperity yang tadi gue pesan. Membiarkannya dingin seperti udara hari ini
dengan segelas ice lemon tea.
Kali
ini, gue mau cerita tentang ibu.
Beberapa
hari yang lalu, gue dapet musibah yang cukup bikin gue nangis sesegukan.
Handphone gue jatoh dan hilang. Hari itu harusnya jadi hari terproduktif gue
semester ini, mendadak rencana gue hancur berantakan, setelah gue nyampe perpus
abis beli alat buat kelas studio gue Senin besok. Gue turun dari motor dan merogoh
kantong kardigan gue, kosong. Gue cek
tas laptop, ga ada. Gue cek tas
ransel butut gue, ga ada. Gue
telusuri jalan yang gue lewati pas pulang bareng Go-jek yang tadi gue order, ga ada. Intinya, itu jatoh dan di ambil
orang.
Dengan
panik dan takut, untungnya driver Go-Jek sangat berbaik hati mengantarkan gue
pulang. Gue langsung minta temen-temen deket gue buat telfon handphone gue, memastikan
kalo kartunya ga dibongkar. Kadang gak aktif, kadang sibuk. Gue e-mail ibu dan bapak, ibu yang lagi sama
kakak di Makassar langsung telfon gue lewat LINE kakak.
Gue
menceritakan kronologisnya, dia hanya bilang, “ya udah Nad gak papa kok,
mungkin ini belum rezeki kamu. Lain kali hati-hati ya jangan terburu-buru.”
Gue
tercenung, ada banyak banget beban yang gue tanggung waktu itu—hasil penyesalan
dan membodohi diri sendiri karena teledor. Bukan karena isi handphone gue, tapi
ada yang jauh lebih penting daripada itu. Ada keringat ibu yang berjuang untuk
beliin gue handphone itu. Ada doa disana untuk membuat gue bertahan lama,
dengan handphone yang udah dikasih hasil jerih payahnya. Ada ‘dia’ disana, dan gue menghilangkannya.
Penyesalan
yang semakin bertubi-tubi ketika gue menerima e-mail dari bapak, beliau bilang mau service hp iPhone gue yang lama. Gue menolak dalam hati, tapi hanya
mengetik terima kasih dan maaf sebanyak mungkin, dengan jari-jari lihai gue
yang menari di atas keyboard laptop.
Gue terdiam, menangis, terdiam lagi, dan menangis sejadi-jadinya.
Beberapa
temen gue yang gue ceritakan masalah ini ikut berempati, memberi semangat,
bahkan ikut membantu mencarikan lagi. Tapi semua nihil, usaha kita ga membuahkan hasil. Gue kembali ke
kosan dengan tatapan kosong, lengkap dengan suara deru mesin mobil dan motor,
juga knalpot jalan Terusan Buah Batu sore itu. Gue terduduk lemas, membayangkan
ibu.
Kenapa bisa sebodoh dan setolol itu sih,
Nad?
Ibu
adalah seorang pekerja keras. Sewaktu gue pulang liburan UAS semester 3, gue
membawa serta kabar gembira. Gue berhasil menaikkan IPK yang selalu gue
takutkan akan turun, karena aktifitas luar kuliah yang membutuhkan tenaga
ekstra. Begitu dia menjemput gue di bandara kala itu, gue langsung memeluknya.
Makassar masih hujan malam itu, tapi hati gue bersinar terang seperti disoroti
matahari. Yang gue selalu rindukan, akhirnya bisa kembali dipertemukan.
Dimobil,
gue lebih banyak diam. Melihat hujan yang tetap deras sambil terus membasahi
jalan Pettarani, merenungi kedatangan gue ke kampung halaman ibu. Hujan masih
terus melucuti tanah sampai ke rumah sepupu gue, kita bertemu, gue merapikan
barang-barang gue, dan tidur disebelah nyokap. Kita bercerita sesekali, sembari
menemaninya terlelap kelelahan main Candy Crush. Gue kembali termenung,
menikmati setiap detik bersama ibu.
Ibu
selalu membangunkan gue setiap subuh—entah kenapa setiap pulang, bangun pagi
adalah hal tersulit yang gue lakukan. Beda dengan di Bandung, gue bisa bangun
pagi cuma dengan sekali alarm. Ibu
berhasil punya kerjaan lain, selain menerima proyek dari kantornya. Ibu punya
kedai kopi yang diturunkan dari Om gue, dia kerjakan bersama kedua temennya
dengan tiga pegawai. Hari itu gue mampir ke kedai kopinya, memesan nasi kuning
yang entah kenapa selalu beda—dan enak. Sambil menemaninya menimbang biji kopi,
gue sedikit banyak ngobrol sama dia. Gue juga menemaninya ikut jaga bazaar di salah satu acara organisasi
yang diketuai Om gue, menemaninya belanja kebutuhan kedai, menemaninya makan
sampai gue begah dan mau muntah. Memijit kakinya yang kecil dan kuat sambil
menggerutu di hati, tapi tetap gue lakukan. Gak ada kali kegiatan sedekat ini
sama ibu selain pillow talk dengannya,
tentang banyak hal.
Ibu
banyak memberikan cerita, kita berbagi cerita. Di Panbaker’s, kita bercerita
tentang kecintaan gue yang—masih—pada interior, sebuah keinginan terdalam
menjadi arsitektur yang gue pupuk dalam-dalam. Banyak bercerita tentang kakak,
tentang kuliah, tentang kerjaannya, tentang bapak.
Keluarga
gue ga ada yang suka nonton film di bioskop, kecuali keluarga sepupu-sepupu
gue, jadi dari dulu bisa dihitung pake jari kapan aja gue nonton film bareng
sama keluarga gue—dan ga pernah lengkap. Tapi hari itu, nyokap memenuhi
keinginan gue untuk nonton film. Gue tau lutut dia gak bisa dingin, bakal sakit
banget buat dia jalan dengan kondisi dingin. Gue—dengan bodoamatnya—tetep
ngajak dia nonton, berusaha gak peduli dengan lututnya walaupun gue tau. Sesekali
menyeka air matanya pas nonton Susah Sinyal. Atau ikut tercengang dengan
nyanyian This Is Me-nya Keala Seattle di The Greatest Showman—begitu pulang,
langsung dengerin lagunya di Youtube. Setelah lampu bioskop menyala, gue
membantunya berdiri, menuruni tangga, sambil berkomentar film yang telah
ditonton.
Disaat
temen-temen seusia gue asik ngobrol berlama-lama dengan nyokapnya setiap hari,
gue hanya punya waktu seminggu disini. Nyokap melarang gue pulang cepet, gue
terpaksa re-schedule pertemuan gue
di Jakarta sama temen-temen gue. Gue mencoba sabar dengan pertemuan yang
singkat ini, memendam kesal karena gak bisa bertemu lama-lama dengan ibu, juga
rindu dengan teman di Jakarta.
Dilema
ini berbuntut dengan kepulangan gue lewat dari beberapa hari yang telah ditargetkan,
gue berangkat dari kedai kopinya sambil memberi salam dengan kedua temannya
yang juga ikut melepas gue. Sepanjang jalan, kami banyak diam. Gue gak mau
merusak ketenangan ibu, dia pasti rindu dan sedih gue harus pulang secepat itu.
Dilangit
Makassar, ada banyak doa yang ikut mengudara. Doa gue salah satunya, dan doa
ibu yang mendominasi segalanya.
Ibu adalah
pekerja keras, tapi tidak dengan hatinya. Hatinya yang lembut, seringkali gak
bisa gue baca dengan mudah. Hidupnya jauh lebih baik sekarang, banyak proyek
yang ia kerjakan. Malam tahun barunya ia lewati bersama teman-temannya, ia
lebih banyak tersenyum. Ia lebih bahagia, ia ‘bebas’.
Gue seneng
ngeliatnya.
Udah
ya, segitu dulu.

No comments: