the time when you (finally) deal with the past
*lagunya Kunto Aji yang Rehat bisa jadi teman saat membaca postingan ini*
Masa lalu adalah masa depan yang udah lewat, dan masa kini yang tidak bisa diputarbalikkan-kecuali lo punya mesin waktu. Sayangnya, kita seringkali mengingat masa lalu yang membekas lewat suatu hal yang sedih, marah, dan kecewa.
Masa lalu adalah masa depan yang udah lewat, dan masa kini yang tidak bisa diputarbalikkan-kecuali lo punya mesin waktu. Sayangnya, kita seringkali mengingat masa lalu yang membekas lewat suatu hal yang sedih, marah, dan kecewa.
Itu wajar, dan memang itu yang sering terjadi sama manusia.
Selagi bukan Tuhan, kita gak bisa punya kekuatan di film The Darkest Mind untuk
menghilangkan masa lalu, tapi kita bisa punya salah satu kekuatan dari film
itu; mengendalikan pikiran.
Banyak hal yang udah gue jalanin selama 3 tahun di daerah
perantauan, mulai dari yang senang banget, sampai gue gak bisa menangis saking
sedihnya. Perjalanan 3 tahun belakang ini sangat membentuk gue seperti
sekarang, yang dulunya gue lemah, bisa jadi kuat dengan banyaknya tempaan dan
kata ‘ayo nad coba lagi’ yang justru sebagian besar bukan dari orang lain, tapi
dari diri sendiri.
Bentar, gue seret abis makan salak.
Tahun lalu, gue pernah dapat tekanan dari banyak orang di sekeliling
gue, bukan tekanan polusi udara (bau ketek) yang lagi gue rasakan sekarang.
Tapi lebih seperti kewajiban yang harus gue penuhi disatu waktu. Dan itu jauh
dari kata mudah, setiap hal yang gue lakukan resikonya gak cuma untuk diri
sendiri, tapi juga berdampak sama orang lain.
Berbagai pertimbangan udah timbang sampai timbangan gue
jebol, berbagai saran udah gue tampung saking seringnya ngucur kayak keran.
Berbagai kritik gue terima sampai akhirnya gue tergelitik.
Tahun lalu, pressure itu
jauh lebih dahsyat dari yang gue bayangkan selama menjadi mahasiswa.
Ditambah kejadian tahun lalunya lagi, atau 2 tahun lalu dari
sekarang.
Namanya juga masih jadi mahasiswa
baru. Iya, sengaja tulisannya gue font italic
biar terkesan asing dimata masyarakat kampus. Kepala botak, muka polos,
bawa-bawa objek buat asistensi nirmana. Heboh lihat perpustakaan kampus bisa
memperbaiki feed Instagram. Mendadak
jadi budak proker UKM/Ormawa. Tongkrongannya cuma sebatas lobi asrama dan
kantinnya, begadang dikamar teman demi besoknya positif di asistensi dosen.
Gitu emang siklus hidup gue tahun pertama disini. Tapi
kepala gue gak botak loh.
Salah satu teman tahun pertama gue namanya Lila. Manusia ayu
banget tapi senang sama taekwondo, cerita hidupnya gak jauh dari:
1.
Pusing gak di asistensi dosen
2.
Tugas
3.
Tugas
4.
Tugas
5.
Cowok
Saking dekatnya kita, kalo apa-apa pengennya bareng terus.
Padahal kita beda banget dari segi umur, suku, kebiasaan. Dia cinta mati sama
Korea Selatan dan Jepang, kalo minta dilahirin lagi mungkin Lila maunya lahir
disana gak mau di Indonesia. Saking ayu dan lembutnya, dia pernah nangis karena
gak diasistensi dosen. Kita sekelas cuma bisa diam.
We sometimes talked
about life, the process itself, our things that only we can share about.
Hidup di tanah Sunda dengan teman orang Jakarta mungkin gak
mudah bagi dia. Pun bagi gue yang masih berpikiran positif bisa menjalani
pertemanan ini, ditengah dia yang bapernya udah terlalu menurut gue waktu itu.
Soalnya gue gak pernah ketemu manusia kayak dia, namanya juga hidup dan besar
di lingkungan Jakarta, ketemu orang daerah lain tuh beda lagi kulturnya. Ada
masa ketika gue capek menghadapi tingkah laku dia yang gak jelas, yang makin
bingungnya lagi karena beberapa bulan sebelum masa kontrak asrama habis, dia
gak cerita apapun ke gue kayak biasanya.
Gue yang waktu itu (sok tau) tentang dia, mencoba dengan
nalar gue untuk memberikannya pendapat. “La, aku tau kamu lagi banyak pikiran.
Kamu kan kalo apa-apa bisa cerita ke aku, ya emang sih gak nyelesain masalah
banget. Tapi minimal kan bisa cerita,” ujar gue sewaktu kami lagi jalan menuju
gedung kuliah.
Lila diam. Tapi gue tau dia dengar apa yang gue bilang. Oh, atau mungkin agak berisik jadi gak
denger.
“La, kamu denger gak?”
“iya!” jawabnya bentak.
Gue tersontak. Lah kok
gue dibentak? Sejak itu gue gak mau berurusan sama dia lagi karena bingung ini anak kenapa sih gak jelas. Tapi
lagi-lagi, daripada memperunyam masalah. Mending gue biarin aja dulu, mana tau
dia mau cerita.
Tapi sampai gue pulang ke Depok pas liburan, cerita itu gak
kunjung datang. Gue akhirnya menerima pesan dia saat gue mengucapkan maaf lahir
batin beberapa hari setelah Lebaran. Dia akhirnya cerita bahwa hari itu, dia
udah jengah sama sikap gue yang ‘galak’ dan (menurut gue) agak terkesan
mengatur.
Ada separagraf kali dia chat ke gue tentang hal yang dia
pendam berminggu-minggu lamanya. Dia minta maaf, dan gue memaafkan sebisanya.
Gue akhirnya sadar kalo kita gak bisa memaksa seseorang untuk bisa jalan bareng
dan bertahan disamping kita, dan secara gak langsung dia memutuskan apa yang
gue sudah susah-susah rajut bernama teman.
Gue gak merasa bersalah dan gak ngerti salah gue dimana.
Gaya bicara gue emang kayak gini, gaya pakaian gue emang kayak gini, gaya
berpikir gue juga emang kayak gini, dan gaya berteman gue juga kayak gini.
Jadi, apa yang harus gue ubah?
Berbulan-bulan lamanya gue dan Lila gak jalan bareng, gue
masih punya foto kita jalan-jalan ke Balai Kota, Braga, Asia Afrika, sambil
mengingat apa yang salah dari gue sampai bikin dia gak nyaman dan memutuskan
tali pertemanan gitu aja.
Gak, gak ada dari diri gue yang harus disesalkan.
Lagi-lagi gue belajar satu hal, we can’t expect the same reaction on different people.
Beberapa teman gue yang lain mampu menerima diri gue apa
adanya, tapi mungkin enggak dengan Lila yang kayaknya kelewat patah hati sama
segala hal yang mulut-nyablak ini bicarakan. Lama dari itu, gue bersua
dengannya cuma beberapa kali. Cuma sekenanya, dan gak mau lebih dari itu.
Paling lama waktu gue dan dia berpapasan dilorong kampus, karena dia harus
pulang ke rumahnya tapi ada kelas sore, jadi dia titip KTM ke gue untuk tapping di kelasnya nanti. Gue
menawarkan diri untuk bantu, hitung-hitung maaf ke diri sendiri karena udah
nyalahin dia yang ngerasa gak terbantu dengan adanya gue di hidupnya.
Kamis, minggu pertama di bulan Oktober. 6 hari lagi Abang
gue ulang tahun, akhirnya tuh bocah makin tua.
Setelah pusing berkutat dengan laporan studio yang
(alhamdulillah) sedikit lagi lahiran, gue memutuskan untuk menyudahi kerja
kelompok ini sebelum perut gue menyalakan sirine ‘LAPER WOY, LAPER!!11!!’
Kedua teman gue akhirnya pulang dan gue makan di gedung
fakultas dengan bekal yang gue bawa tadi pagi. Melihat orang berlalu lalang
sepuasnya karena gue se-invisible
itu, bertegur sapa dengan salah satu teman kost-an gue yang dulu. Gak lama gue
melihat Lila dengan setelan khasnya, gue menunduk melanjutkan makan siang gue
dan berharap kembali invisible. Tapi
enggak, “Nadhira! Nadhira!” pura-pura
mode: on. “hai, La!”
Basa-basi yang terkesan singkat, gue kira beneran cuma
sebentar. “Nad, aku mau nanya, kalo kamu sekelompok orang yang males, kamu
bakal ngapain?” hm, apa ya. “hm
tergantung orangnya, kalo dia ternyata harus ditegasin baru bisa kerja ya
mungkin harus ditegasin. Reaksi orang-orang kan beda-beda,” dari pertanyaan
itu, percakapan cukup lama hadir begitu saja. Sampai gue akhirnya selesai makan
siang, “eh iya Nad, ada lagi.”
“kenapa tuh?”
“maafin aku 2 tahun yang lalu ya, aku dulu masih baru tau
banget dunia luar kayak gimana, jadinya baperan banget.”
“gak papa kok, santai aja udah lama juga.”
Walaupun seenggaknya masih sering keinget, tapi ucapan maaf
secara langsung bikin gue lebih ngerasa ‘ok
it’s time to let go.’ Mungkin yang gue butuhkan bukan cuma tulisan maaf, tapi
bagaimana orang itu (dan gue) menyampaikan pesan maafnya.
Seperti yang ada di bukunya Ika Natassa, Critical Eleven, “to women, how to deliver the message is sometimes more important than the message itself.” Awalnya gue gak percaya, menurut gue itu terlalu cliché.
Tapi akhirnya gue mengerti, lagi-lagi dari seorang kawan yang sempat punya jarak.
Seperti yang ada di bukunya Ika Natassa, Critical Eleven, “to women, how to deliver the message is sometimes more important than the message itself.” Awalnya gue gak percaya, menurut gue itu terlalu cliché.
Tapi akhirnya gue mengerti, lagi-lagi dari seorang kawan yang sempat punya jarak.
Kayak ada satu tali yang berhasil gue lepas, setelah lama
mengikat diri sendiri.

No comments: